Mengkritisi Sekolah Favorit
Oleh : Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)
Kata ‘favorit’ meninggalkan kesan berbeda jika disematkan mengiringi kata sekolah. Ya, sekolah favorit, bahan diskusi yang menarik untuk diperbincangkan. Kata ‘sekolah favorit’ mencitrakan sesuatu yang hebat, elegan, mewah, dan sempurna.
Kesuksesan dan prestasi gemilang menjadi jaminan mutu dan seolah melekat dalam status favorit yang disandang suatu sekolah. Namun di balik itu semua, saya tertarik menelisik apa makna dibalik kata sekolah favorit. Sekolah seperti apa yang layak difavoritkan masyarakat?
Kadang kita selalu terjebak dalam menilai reputasi sekolah. Semua itu terjadi karena ukuran keberhasilan hanya bersifat populer di mata masyarakat, misalnya persentase kelulusan murid dalam Ujian Nasional, peringkat akreditasi sekolah, jumlah calon murid baru yang mendaftar, keberhasilan para murid dalam olimpiade matematika dan sains, jumlah piala yang dipajang di sekolah, dan fasilitas yang super fantastis.
Sedangkan pencapaian hasil berbobot edukasi masih jarang dievaluasi, seperti berapa banyak murid yang awalnya malas belajar berubah jadi rajin belajar, berapa banyak murid yang mengalami perubahan perilaku menjadi lebih baik, berapa banyak murid yang mampu berpikir kritis dan kreatif, serta berapa banyak murid yang memiliki kecakapan memecahkan masalah yang bermanfaat dalam kehidupan keseharian mereka. Tragisnya, kata ‘favorit’ masih cukup ampuh mengecoh sebagian besar masyarakat yang hendak mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah.
Saya mesti berterima kasih kepada Reeves (2006). Siapakah dia? Reeves memiliki sebuah konsep pemetaan kondisi dan posisi sekolah dengan melakukan analisis terhadap 2 hal utama, yaitu analisis terhadap strategi dan tindakan penentu hasil yang sengaja dilakukan sekolah dan tingkat pencapaian hasil yang diraih sekolah.
Strategi dan hasil pencapaian menjadi fokus utama sekolah dalam membangun reputasinya. Maka segera tanggalkan status ‘favorit’ jika suatu sekolah merasa punya prestasi tapi ternyata tidak melalui proses eksekusi strategi manajemen yang terencana baik.
Ada sekolah yang tampak baik dan punya pencapaian keberhasilan. Tapi jika ditelaah lebih jauh, sekolah seperti ini masih mengabaikan pentingnya kesadaran dan pemahaman atas strategi dan rencana tindakan penentu hasil yang efektif. Sekolah banyak diuntungkan karena memeroleh input siswa yang sangat berkualitas dengan orangtua berstatus sosial ekonomi menengah-atas. Tanpa strategi atau tindakan tertentu yang dirancang secara ‘sengaja’, sekolah sudah tampak berhasil dengan raihan prestasi yang ditorehkan murid dalam berbagai bidang.
Sebagai contoh, sekolah bisa berbangga karena cukup banyak muridnya yang berbahasa Inggris. Inti persoalannya, apakah murid mahir berbahasa Inggris karena hasil proses pembelajaran bahasa yang dirancang sekolah atau faktor les di luar sekolah? Sekolah boleh tercatat sebagai sekolah dengan tingkat kelulusan 100% pada Ujian Nasional. Lantas, apakah capaian itu merupakan hasil proses pembelajaran yang berkualitas? Ataukah karena sebagian besar para muridnya dipersiapkan lembaga bimbingan belajar di luar sekolah?
Inilah ‘sekolah beruntung’. Walau tanpa strategi dan tindakan efektif yang terencana, sekolah masih cukup sering memeroleh prestasi. Bolehlah sewaktu-waktu kita berharap keberuntungan. Tapi, sampai kapan kita terus mengandalkan keberuntungan? Jika tak mau ingkar proses, maka sekolah harus mulai menata strategi manajemen untuk meraih pencapaian keberhasilan sekolah. Karena jika pun berhasil, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan semakin kecil jika masih selalu berharap keberuntungan.
Lebih tragis dibanding ‘sekolah beruntung’, ‘sekolah kalah’ mengalami tingkat pencapaian keberhasilan yang rendah. Kegagalan meraih prestasi turut disumbangkan oleh faktor rendahnya pemahaman sekolah atas pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil. Kegagalan demi kegagalan sering dialami sekolah. Sikap menyalahkan aspek eksternal sekolah tampak lebih akrab dijumpai di sekolah ini.
Mereka lebih fokus mengeluhkan masalah---Misal, kualitas murid-murid barunya yang semakin rendah, jumlah murid semakin berkurang, sulitnya merekrut guru berkualitas, sarana dan prasarana sekolah serba terbatas, banyak muridnya yang bermasalah dalam perilaku-- daripada mulai menata manajemen sekolah yang tanggap mengatasi persoalan yang tengah terjadi.
Sekolah seperti ini belum memiliki pemahaman dan keterampilan menyusun strategi yang relevan dengan kondisi kekinian dan tuntutan zaman yang terus berubah dengan cepat. Lemahnya komitmen dan konsistensi dalam memperbaiki sistem jadi masalah utama ‘sekolah kalah’. Karena itu pula mereka layak digelari sekolah ‘madesur’, masa depan suram.
Beda lagi dengan situasi yang terjadi di sekolah berstatus ‘belajar’. Mereka lebih memilih sikap untuk keluar dari keterbatasan yang menimpa sekolah. Sebanyak apapun persoalan yang menimpa sekolah, sebanyak itulah tantangan yang bisa dikelola untuk melahirkan perubahan menuju sekolah yang lebih baik. Sikap mental pemenang yang luar biasa.
Karena jika pun sekolah lebih memercayai hal-hal negatif yang menimpa, bukankah kita hanya menambah beban dalam kehidupan sekolah? Maka, mulailah melangkah untuk membuat perubahan di sekolah.
Sekolah di kuadran ‘belajar’ mempunyai pemahaman tentang pentingnya strategi yang tepat dan rencana tindakan yang disusun berdasarkan data dan fakta, bukan sekedar intuisi tak berdasar. Semua elemen sekolah—Pengurus yayasan, kepala sekolah, guru, orangtua murid—benar – benar sadar untuk melakukan proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan perbaikan yang berkelanjutan.
Karena hanya dengan cara itu, cita-cita perubahan yang diidamkan sekolah bisa terwujud. Walau tingkat pencapaian keberhasilan belum optimal, namun tingkat pemahaman sekolah atas pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil sangat tinggi. Konsekuensinya, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan sangat besar.
Mungkinkah sekolah sederhana berlokasi di pelosok desa berpeluang menjadi sekolah nasional terbaik? Sangat mungkin. Syaratnya, konsisten menerapkan standar manajemen mutu yang memastikan pencapaian keberhasilan sekolah bisa diukur dan dievaluasi setiap waktu. Tak ada pihak yang meragukan prestasi dan reputasi sekolah karena semua sudah direncanakan dengan sangat baik.
Apa yang terjadi di kemudian hari? Sekolah di kuadran ‘memimpin’ mengalami tingkat pencapaian hasil yang tinggi serta memiliki pemahaman yang tinggi pula terhadap pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil yang efektif. Sama persis dengan sekolah di kuadran ‘belajar’, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan semakin besar.
Sekolah favorit perlu merenungi kembali sebuah pemikiran hebat bahwa kesuksesan adalah kegagalan. Mengapa demikian? Karena kita menjadi lebih mudah lupa diri ketika berada dalam kondisi sangat sukses. Kesuksesan pada kenyataannya mengembangkan rasa puas diri. Yang paling berbahaya dapat menimbulkan sikap arogansi. Ketika kita benar-benar sukses, sering kali kita jatuh cinta pada diri sendiri.
Hal yang sama berlaku pada institusi bernama sekolah. Sekolah berhenti berinovasi, bekerja keras, mengambil resiko, dan mulai bersandar pada kesuksesan yang sudah diraih. Sekolah bisa jadi lebih defensif dan menghabiskan banyak energi untuk melindungi kesuksesan mereka, alih-alih mempertahankan hal-hal baik yang mengantarkan sekolah menuju puncak kesuksesan.
Sekolah adalah institusi terhormat yang musti mengedukasi masyarakat. Bukan menipu dan mengaburkan makna ‘favorit’ yang cenderung mengedepankan pencitraan secara sepihak. Jangan gunakan istilah ‘favorit’ untuk sekadar mengeruk keuntungan dari orangtua murid yang awam tentang makna tersebut.
Berjuanglah menjadi sekolah di kuadran ‘belajar’ dan ‘memimpin’. Itulah cara terbaik membangun reputasi sebagai sekolah yang bisa melayani pendidikan formal bagi masyarakat. Ingatlah, kesuksesan adalah kegagalan. Agar tak merasa sudah di puncak kesuksesan, bertanyalah setiap saat, seberapa pantas sekolah kita digelari sukses dan terfavorit?
---
Sumber: [ROL/berita/pendidikan]