Tina Bercerita
Credit Foto : pelajaran.co.id |
Di tahun 1998 Tina masih berusia 17 tahun dimana saat itu dia masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Atas. Orang bilang masa-masa SMA adalah masa yang paling bahagia. Namun bagi Tina hal tersebut biasa saja, entah karena dia tidak mengistimewakan masa SMA atau memang tidak ada yang istimewa baginya selama tiga tahun menimba ilmu. Sebagai seorang anak remaja yang introvert Tina tidak banyak memiliki teman. Bisa dihitung jumlah teman Tina, paling banyak tiga atau empat yang dekat dengannya.
"Tin, kamu istirahat mau ngapain ?" tanya Zahra teman sekelasnya sambil merapikan buku Ekonomi Matematika yang baru saja selesai diajar Bu Anny. "Aku kayaknya di kelas ajalah, Zah. Lagi malas ke kantin, titip kerupuk aja deh," seru Tina sambil tangannya tak lepas berbenah buku-bukunya.
Demikian hari-hari Tina, rumah-sekolah, sekolah-rumah sampai seterusnya selama tiga tahun. Tanpa kegiatan ekstra kurikuler yang diikutinya, Tina tetap menikmati masa remajanya.
Pada saat Tina berada di kelas dua SMA guru wali kelas yang mengatur tempat duduk Tina dan teman-temannya secara acak sehingga Tina harus sebangku dengan teman laki-lakinya. Namun bagi Tina itu bukan masalah besar karena sesungguhnya dia bisa bergaul dengan siapapun di sekolah tanpa membedakan status maupun jenis kelamin. Dan Tina pun mendapat kesempatan sebangku dengan Adjie, teman laki-laki yang malasnya minta ampun.
"Tin, ntar aku nyontek jawabanmu ya. Aku kan gak bisa Ekonomi Matematika," tiba-tiba Adjie memukul pundak Tina dengan santai. "Beres, Djie tapi gak usah pukul-pukul pundakku gitu donk. Bukan muhrim tahu !" Gerutu Tina sambil berlalu ke luar kelas. Adjie hanya terkekeh mendengar gerutuan teman sebangkunya itu.
Tina sejak tahun 1981 berdomisili di Balikpapan, sebuah kota yang dijuluki kota minyak berada di propinsi Kalimantan Timur. Tina tinggal di komplek perumahan bersama almarhum bapak dan ibu. Kebetulan almarhum bapak semasa hidup beliau bekerja sebagai pegawai di rumah sakit Pertamina Balikpapan. Banyak kenangan yang Tina torehkan di Balikpapan. Delapan Belas tahun tidak mudah untuk dilupakan segala kenangan entah itu kenangan sedih maupun bahagia.
"Tin, ayo cepat kalau mau bareng Bapak. Bapak sudah terlambat lho," bergegas Bapak Tina memanggil anak bungsunya itu sambil membuka garasi mobil. "Ya udah deh pak, Bapak duluan aja. Aku kan masih harus pakai kaus kaki," jawab Tina dengan sedikit gusar.
"Pakai kaus kaki di mobil kan bisa, nak," jawab Bapak dengan sabar. "Ga ah Pak, aku jalan aja ke sekolah. Gapapa kok pak, aku ga marah," jawab Tina seolah tahu apa yang ada di dalam hati Bapak tercinta. "Baiklah nak, hati-hati di jalan ya," jawab sang Bapak sambil menepuk pundak anak bungsunya.
Tina anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya berkuliah di Semarang, Jawa Tengah. Hanya Tina yang kumpul dengan kedua orangtuanya. Jarak usia Tina dengan kedua kakaknya lumayan jauh yaitu lima dan enam tahun. Rumah sangat sepi karena hanya ada Tina dan Bapak beserta Ibu.
Pada tahun 1998 negara Indonesia sedang mengalami pergolakan akibat krisis ekonomi yang melanda hampir semua wilayah di dunia. Tina sendiri yang masih remaja bahkan tidak tahu karena apa. Namun seiring waktu berjalan dan Tina memperluas wawasan dengan membuka situs Wikipedia, dimana dijelaskan bahwa pada tahun 1997 terjadi krisis keuangan yang menimpa hampir seluruh negara di Asia Timur tepatnya pada bulan Juli 1997. Walaupun Indonesia bukan bagian dari Asia Timur namun terkena dampak dari krisis ekonomi tersebut bersama negara Thailand yang juga merupakan bagian dari negara ASEAN.
Alhamdulillah Tina merasa kota Balikpapan tak terlalu berdampak akibat krisis moneter seperti yang dirasakan saudara-saudaranya setanah air di Pulau Jawa. Entah kenapa, apa karena Tina berada di pulau lain sehingga tidak terlalu merasakan akibatnya atau karena almarhum Bapak merupakan pegawai salah satu BUMN di Indonesia. Tapi yang Tina ingat, teman-teman SMA-nya yang memiliki orangtua tidak bekerja di BUMN pun tidak merasakan dampak dari krisis moneter tersebut.
Pada suatu hari di bulan Mei 1998 Tina dan almarhum Bapak beserta Ibu berjalan-jalan menggunakan mobil tua Bapak menyusuri jalan di samping pasar Blauran. Tina tidak tahu mengapa berseliweran mobil-mobil dengan plat B.
"Pak, coba deh Bapak lihat itu kok mobil banyak banget ya yang plat B, harusnya kan platnya KT yang banyak di jalan. Kita kan lagi di Balikpapan toh Pak ?" Tanya Tina sambil menunjuk-nunjuk benerapa mobil yang berseliweran. "Oh iya ya, Tin. Kenapa jadi banyak plat B ya ? Masak orang Jakarta pada pindahan ke sini ?" Sahut Bapak sambil fokus menyetir. Kemudian Ibupun menyahut dari kursi belakang, "Iya kan katanya di tivi Jakarta lagi pada rusuh. Alhamdulillah ya Balikpapan aman-aman saja."
Seperti yang Tina pikirkan sebelumnya, bahwa dia hanya mengikuti perkembangan berita melalui televisi dan tidak paham akar permasalahan yang terjadi di negaranya tercinta. Tina dan almarhum Bapak malah berlomba menghitung jumlah mobil berplat B yang melintasi jalan di kota Balikpapan.
Jika dulu Tina sudah paham akan permasalahan bangsa ini di tahun 1998 maka tentu dia tak akan berlomba menghitung mobil berplat B sebagai suatu bentuk humor. Beberapa hari setelah humor menghitung mobil berplat B Tina mendengar berita bahwa terjadi penjarahan besar-besaran di kota Jakarta. Sungguh hal itu membuatnya sedih karena tidak ada yang dapat Tina lakukan selain berdoa memohon kepada Allah SWT agar masalah di negerinya tercinta dapat segera berlalu.
Yang Tina ingat dari tahun 1998 salah satunya adalah peristiwa turunnya Almarhum Presiden Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun lamanya. Tina pun tak mengerti mengapa dulu Presiden Soeharto mampu bertahan sampai begitu lama dalam memimpin negara. Sebagai seorang anak remaja yang hanya berkutat dengan pelajaran di sekolah, jujur Tina tak terlalu paham dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. Baginya selama kedua orangtua masih dalam keadaan sehat dan tak kurang suatu apapun dalam keluarga Tina, maka Tina tak merisaukan kejadian lain di luar sana