Beberapa Permasalahan Dalam Fidusia

Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Pada saat itu, bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, akan tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum karena belum adanya lembaga jaminan fidusia yang mengatur hal tersebut.


Untuk menjamin kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dalam fidusia, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang  dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan :
  • Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
  • Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.


Pada awalnya, sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999, pada umumnya benda yang menjadi obyek fidusia terbatas pada benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Sedangkan setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999, obyek jaminan fidusia menjadi diperluas sebagaimana uraian tentang jaminan fidusia tersebut di atas, yaitu meliputi benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud, dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.


Selain itu, hal penting lain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 adalah tentang pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan pada Kantor Perdaftaran Fidusia yang berada dalam lingkup tugas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepntingan dan pendaftaran jaminan fidusia memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia terhadap kriditur lain. Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Yang dimaksud dengan prestasi adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.

Baca juga : Perjanjian Jaminan

Beberapa Permasalahan Dalam Pelaksanaan Jaminan Fidusia. Dalam praktek, jaminan fidusia seringkali diadakan sebagai tambahan jaminan pokok, manakala jaminan pokoknya dianggap kurang memenuhi. Terdapat beberapa permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan jaminan fidusia beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Akta Jaminan Fidusia Dibuat Tanpa Kehadiran Debitur.
Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa :
  • Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.

Hal tersebut berarti bahwa akta jaminan fidusia tidak dapat berdiri sendiri, harus ada perjanjian pokok yang menjadi induk dari perjanjian fidusia. Salah satu contoh dari perjanjian pokok tersebut misalnya  perjanjian utang piutang. Pada perjanjian utang piutang terdapat kreditur dan debitur, yang dalam Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang. Sedangkan debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tidak diatur secara eksplisit adanya kewajiban pencantuman pihak debitur dan kreditur dalam akta jaminan fidusia. Namun demikian, identitas kreditur dan debitur wajib disebutkan dalam akta jaminan fidusia sebagai pihak pemberi dan penerima fidusia.


Jadi, apakah akta jaminan fidusia dapat dibuat tanpa kehadiran debitur ? Karena Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak mengatur tentang kewajiban debitur untuk hadir dalam pembuatan akta jaminan fidusia, maka dapat dikatakan bahwa pembuatan akta jaminan fidusia dapat diwakilkan (tanpa kehadiran debitur), maksudnya adalah debitur memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya dalam pembuatan akta jaminan fidusia. Kuasa dimaksud haruslah dibuat dengan akta notariil (akta yang dibuat oleh notaris) dan tunduk pada ketentuan pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  • Akta jaminan fidusia dan kuasa dibuat dengan akta notariil dimaksudkan untuk menjamin kepentingan hukum kedua belah pihak serta menjadi suatu alat bukti yang kuat di kemudian hari dalam hal terjadi sengketa perdata. Sebagaimana dijelaskan dalam alenea kedua Pasal 1902 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : "Yang dinamakan bukti permulaan tertulis ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang yang terhadapnya suatu tuntutan diajukan atau dari orang yang diwakili olehnya dan yang kiranya membenarkan adanya peristiwa hukum yang diajukan oleh seseorang sebagai dasar tuntutan".


2. Perjanjian Yang Dapat Menggunakan Fidusia Sebagai Jaminan.
Pada asasnya jaminan fidusia dapat melekat pada semua perjanjian yang bertujuan membebani benda dengan jaminan fidusia, hal tersebut ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia tidak berlaku terhadap :
  • Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar.
  • Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 M3 atau lebih.
  • Hipotek atas pesawat terbang.
  • Gadai. 


3. Prosedur Pendaftaran Jaminan Fidusia.
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menjelaskan bahwa benda baik yang berada di dalam atau di luar wilayah negara Republik Indonesia yang  dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Pendaftaran jaminan fidusia tersebut dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia yang  berada dalam lingkup Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Prosedur pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut :
  • Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
  • Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan secara tertulis oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran fidusia, yang memuat : identitas pihak pemberi dan penerima jaminan fidusia, uraian mengenai akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai obyek benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia, nilai penjaminan, serta nilai benda yang menjadi obyek benda jaminan fidusia.
  • Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
  • Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan sertipikat jaminan fidusia dan menyerahkan sertipikat jaminan fidusia tersebut kepada penerima fidusia.
Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.


4. Berkaitan Dengan Keabsahan Sertipikat Faminan Fidusia.
Untuk dapat mengetahui suatu sertipikat jaminan fidusia asli atau palsu dapat mengacu pada ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang berbunyi :
  • Kantor Perdaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia Sertipikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan perdaftaran.

Sertipikat jaminan fidusia merupakan salinan dari buku daftar fidusia yang berisi catatan tentang pernyataan pendaftaran yang memuat :
  • identitas pihak pemberi dan penerima fidusia.
  • tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia.
  • data perjanjian pokok yang dijamin fidusia.
  • uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan  fidusia.
  • nilai penjaminan.
  • nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.


Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa keabsahan sertipikat jaminan fidusia dapat dilihat dari siapa pernerbit sertipikat jaminan fidusia tersebut, maksudnya adalah bahwa sertipikat jaminan fidusia yang asli diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia, pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
  • Berkaitan dengan hal tersebut, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mencocokkannya dengan buku daftar fidusia yang ada di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk menguji keasliannya. Hal tersebut dijamin dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 yang menerangkan bahwa segala keterangan mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.


5. Akibat Hukum Jika Jaminan Fidusia Belum Didaftarkan.
Salah satu tujuan dari adanya lembaga pendaftaran jaminan fidusia adalah untuk melindungi dan  menjamin terpenuhinya hak-hak kreditur apabila debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji.
  • Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Penjaminan Fidusia mengamanatkan bahwa untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tersebut, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notariil atau akta otentik dan harus didaftarkan atau dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka konsekuensinya adalah hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tersebut.


6. Eksekusi Terhadap Obyek Jaminan Fidusia.
Apabila debitur (pemberi fidusia) wanprestasi atau cidera janji, maka berdasarkan sertipikat jaminan fidusia, kreditur (penerima fidusia) dapat melakukan eksekusi terhadap benda yang digunakan sebagai obyek fidusia. Berkaitan dengan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia tersebut ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan :
  1. Dalam sertipikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
  2. Sertipkat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  3. Apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Baca juga : Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) Dan Berakhirnya Perjanjian Penanggungan (Borgtocht)

Selanjutnya ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia  menyebutkan :
(1) Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
  • a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia.
  • b. penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
  • c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
(2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilaukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar yang tersebuar di daerah yang bersangkutan. 


Merujuk pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999, bahwa dalam sertipikat jaminan fidusia terdapat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Atas dasar hal tersebut maka kreditur mempunyai hak untuk melakukan eksekusi, yaitu menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi). Penjualan benda yang digunakan sebagai jaminan tersebut dilakukan oleh kreditur melalui pelelangan umum atau di bawah tangan dengan kesepakatan debitur, di mana penjualan tersebut dilakukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukannya pihak-pihak yang berkepentingan oleh debitur dan kreditur dan diumumkan dalam dua surat kabar. 


Eksekusi Jaminan Fidusia Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor : 18/PUU-XVII/2019. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berkaitan dengan  eksekusi benda yang digunakan sebagai jaminan fidusia dipandang tidak sesuai dengan tatanan kehidupan bangsa dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya, beberapa pihak mengajukan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) tersebut di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Atas pengajuan pengujian undang-undang (judicial review) yang diajukan tersebut, Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor : 18/PUU-XVII/2019,  memberikan putusannya bahwa :
  • Berkaitan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Penjaminan Fidusia, frasa "kekuatan eksekutorial" dan frasa "sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap" bertentangang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang wanprestasi atau cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela obyek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertipikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap".
  • Berkaitan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor : 42 Tahun 1999 tentang Penjaminan Fidusia, frasa "cidera janji" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai  bahwa "adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji".

Baca juga : Perlawanan Terhadap Putusan Hakim (Upaya Hukum) Dalam Putusan Perdata

Berdasarkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat disimpulkan bahwa : 
  • eksekusi jaminan fidusia dilakukan pada saat adanya kesepakatan mengenai wanprestasi atau cidera janji, dan kerelaan debitur untuk menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
  • apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai wanprestasi atau cidera janji dan debitur tidak menyerahkan obyek jaminan secara sukarela, maka prosedur eksekusi jaminan fidusia dilakukan sama dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu dengan mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri
  • wanprestasi atau cidera janji juga tidak dapat dilakukan secara sepihak, harus ada kesepakatan mengenai wanprestasi atau cidera janji yang ditentukan oleh kedua belah pihak atau atas dasar upaya hukum (gugatan) yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah melakukan wanprestasi atau cidera janji.


Adanya sertipikat jaminan fidusia tidak serta merta membuat penerima fidusia dapat langsung mengeksekusi obyek jaminan fidusia. Mekanisme prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertupikat selayaknya eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tetap harus dilakukan jika tidak ada kesepakatan mengenai wanprestasi atau cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan obyek jaminan secara sukarela. 

Semoga bermanfaat.
Next Post Previous Post