Sekolah yang Merakyat, Mengajarkan Pengetahuan dan Ketrampilan serta Menanamkan Nilai-Nilai Moral
Oleh: Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)
Dari dulu sampai sekarang, sekolah masih tetap ada di muka bumi ini. Sekolah, selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, juga punya peran untuk menanamkan nilai-nilai moral kehidupan. Sejatinya, itulah fungsi dan peran idealisme suatu sekolah.
Sayang seribu sayang, idealisme sekolah kian luntur tak mampu imbangi realitas zaman yang serbarumit. Hari ini, peran sekolah tak cukup sekadar mampu memenuhi hak-hak belajar murid. Tapi, sekolah mesti mampu lakoni peran sebagai agen perubahan sosial kehidupan masyarakat.
Budaya hedonis- kapitalis, lahirkan lulusan yang tak sadar diri, untuk apa dan untuk siapa bersekolah. Sekolah hanya jadi institusi yang berguna bagi dirinya sendiri dan melanggengkan kepentingan kelompoknya, tapi tak mampu mengubah potret hidup masyarakat.
Teringat pernyataan Prof Jimly Asshiddiqie tempo hari, "Sekolah itu sama saja. Mau bersekolah di negeri atau swasta, di kota atau di desa, di dalam negeri atau luar negeri, yang penting punya komitmen pribadi untuk sungguh-sungguh mencari ilmu. Sekolah itu faktor pendukung keberhasilan hidup seseorang. Jika dapat sekolah bagus, anggap saja itu bonus".
Saya cukup penasaran, mengapa Prof. Jimly punya cara berpikir seperti itu soal sekolah? Saya amat bersyukur, tak perlu waktu lama untuk temukan jawaban dari beliau. "Dulu saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah --selevel SD dan SMP-- di pelosok desa. Yang menarik, saya baru tahu sekarang, sekolah saya itu ternyata tak punya status. Sekolah saya tak berstatus 'diakui', 'disamakan', 'terakreditasi', tapi hanya berstatus 'diridhai Allah SWT", urai Prof. Jimly sambil terkekeh.
"Masa depan tergantung KOMITMEN. Lingkungan, itu bonus. Mending jadi orang susah, tapi pikiran terbuka", itulah prinsip hidup Prof. Jimly. Terlahir dari keluarga miskin tak membuatnya risau menatap masa depan. Nah, kira-kira adakah sekolah yang bisa didik anak-anak orang susah agar punya pikiran terbuka? Oh ya, saya ingat satu nama, 'Sekolah Dowa Islami' di kota Serang (Banten).
Entahlah, pertama kali melihat bangunan sekolah yang didominasi bahan dari kayu dan bilik, pikiran saya terbang menerawang. "Lulusan seperti apa yang bisa dihasilkan dari sekolah ini?" Ruangan kelas beralaskan ubin kayu, berdinding bilik, dan beratap seng menjadi saksi bisu perjuangan jatuh bangunnya sekolah Dowa Islami. Tak ada yang istimewa jika menilik infrastruktur bangunan sekolahnya. Tapi, ketangguhan dan kemuliaan hati para pendidiknya yang justru memesona diri saya.
Sekolah ini menerima anak-anak terbuang, yang sulit masuk sekolah elit dan favorit. Tak ada kebanggaan bagi orangtua yang kirimkan anaknya sekolah di Dowa Islami. Wajar memang karena sekolah ini dianggap tak punya prestise. Apalagi soal prestasi. Justru karena tak punya prestise dan prestasi, sekolah ini memulai dengan keberanian tuk bermimpi. Cita-citanya tak muluk, anak-anak dari rakyat jelata dan tak berpunya tetap bisa berilmu agar hidupnya mulia dan bermanfaat bagi sesama.
Lupakan soal gaji. Kepala sekolah dan guru sadar untuk apa mereka berkarya di sekolah Dowa Islami. No money, they're no cry. Biarlah hidup mereka serba terbatas. Tapi, harapan untuk melahirkan generasi yang lebih baik tak pernah redup di telan sang waktu. Mereka berikan karya terbaik untuk sekolah. Suasana hidup di lingkungan sekolah serba prihatin. Kondisi yang jelas bukan karena pilihan mereka sendiri.
Tantangan terberat datang dari orangtua murid. Mereka tak yakin anaknya bisa berhasil sekolah di Dowa Islami. Titik persoalan, lebih banyak orangtua yang rajin mengkritik saja ketimbang turut berkontribusi memajukan sekolah. Barisan kepala sekolah dan guru tetap solid hadapi situasi tersebut. Proses pendidikan terus berlangsung, anak didik tetap dirawat agar tak jadi 'sampah masyarakat'. Ajaran soal moralitas jadi menu utama. Soal kepintaran, itu nomor dua. Semua murid dibekali keterampilan hidup agar tak jadi beban buat masyarakat, syukur-syukur jika ada yang berhasil lanjutkan ke bangku sekolah yang lebih tinggi lewat beasiswa.
Suasana kebersamaan begitu kental terasa di sekolah Dowa Islami. Jika ada tamu datang ke sekolah, semua guru dan murid bahu-membahu memberi pelayanan terbaik. Meski kondisi keuangan sekolah morat-marit, pantang untuk berikan jamuan alakadarnya pada tamu. "Tamu itu mesti dimuliakan. Kami kumpulkan dana dari semua guru dan murid. Kami masak bersama untuk memberikan hidangan istimewa. Itulah cara kami mensyukuri nikmat. Semoga keberkahan menyertai perjuangan kami", ungkap kepala sekolah di sela-sela bincang santai. Saya merasa begitu sangat terhormat bisa hadir dan bercengkrama bersama guru-guru Dowa Islami tahun 2009 silam.
Atas dasar sikap sabar, syukur, ikhlas, sungguh-sungguh dalam melewati hari-hari penuh perjuangan, sekolah mulai tunjukkan prestasi sedikit demi sedikit. Dulu banyak yang mencibir, kini tak sedikit yang mulai menaruh respek. "Bersyukur saya jadi orang susah. Karena hidup susah, pikiran saya jadi lebih terbuka karena ilmu yang diberikan guru-guru Dowa Islami". Cara berpikir murid Dowa Islami yang telah mengalami perubahan.
Inkeles dan Dreeben (1968) menyatakan, sekolah dapat memberikan efek terhadap sikap hidup para pelakunya hanya melalui proses interaksi sosial yang berlangsung di sekolah, bukan karena faktor pemberian materi pengajaran. Sikap teladan yang ditunjukkan guru-guru Dowa Islami paling memengaruhi cara berpikir dan bersikap murid-muridnya karena adanya interaksi sosial intens antara guru-murid di sekolah tersebut.
Inilah potret sekolah yang merakyat, sekolahnya punya rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Mereka pegang teguh konsep 'berkah'. Apa itu konsep 'berkah'? Jika hidup serba kurang tetap bisa dicukupkan, berlebih tak ada yang sia-sia. Hulu dan hilirnya, semua penuh kebaikan. Kelak, sekolah model inilah yang punya masa depan cerah.
Mengapa? Karena para lulusannya tetap bersahaja, berhati rakyat, dan gunakan segenap kemampuannya ketika mereka jadi orang berhasil untuk selamatkan sekolah agar tetap eksis. Jika pun hanya jadi orang biasa, mereka tetap bersikap tanggung jawab untuk berperilaku baik agar tak cemarkan nama baik sekolah di mata masyarakat. Karena sejatinya, sekolah telah mewariskan jati diri dan kebanggaan sebagai rakyat yang meskipun hidup susah tetap bisa jaga kehormatan diri. [ROL]