Akses Pendidikan yang Berkeadilan
Salah satu tekad yang ingin diraih Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Anies Baswedan adalah memberikan akses pendidikan bagi semua putra putri Indonesia secara berkeadilan. Akses pendidikan yang berkeadilan diyakini sebagai salah satu kunci yang bisa membawa kemajuan Indonesia.
Tekad ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya, Mohammad Nuh, juga mempunyai fokus yang sama. Selama kepemimpinannya, hampir semua program diarahkan untuk memberikan akses pendidikan yang merata dan berkeadilan.
Pendidikan dasar sembilan tahun, misalnya, kembali ditegaskan menjadi sesuatu yang wajib bagi seluruh anak Indonesia. Karena itulah dikucurkan biaya operasional sekolah (BOS) sehingga orangtua siswa tidak harus membayar saat anaknya mengikuti pendidikan dasar, dan sekolah pun tidak boleh melakukan pungutan.
Khusus untuk siswa dari keluarga tidak mampu secara ekonomi dikucurkan dana bantuan siswa miskin (BSM) yang besarnya Rp 450.000 per tahun bagi siswa SD, Rp 750.000 bagi siswa SMP/MTs, serta Rp 1 juta per tahun bagi siswa SMA/SMK/MA. Jumlah penerimanya pada tahun 2014 ini sekitar 13,5 juta siswa di semua jenjang pendidikan, dengan anggaran yang dikucurkan pemerintah pada tahun 2014 sebesar Rp 6,09 triliun.
Agar siswa dari keluarga miskin bisa mengenyam pendidikan tinggi, semua perguruan tinggi negeri diwajibkan mengalokasikan 20 persen kursinya untuk calon mahasiswa miskin. Kebijakan ini juga disertai penyediaan beasiswa pendidikan bagi mahasiswa miskin berprestasi atau Bidikmisi yang besarnya Rp 1 juta per bulan. Jumlah penerima beasiswa ini sekitar 150.000 mahasiswa yang tersebar di sejumlah perguruan tinggi.
Kebijakan yang fokus pada akses pendidikan berkeadilan ini, hasilnya selama empat tahun cukup nyata. Angka partisipasi kasar (APK) SD sederajat tahun 2009, misalnya, 95,23 persen dan tahun 2013 naik menjadi 95,80 persen.
Angka partisipasi kasar SMP naik dari 74,52 persen menjadi 79,06 persen pada periode yang sama, sedangkan APK SMA sederajat naik dari 69,6 persen menjadi 81,26 persen pada periode yang sama. Begitu pun APK perguruan tinggi untuk usia 19-23 tahun naik dari 21,60 persen pada tahun 2009 menjadi 29,87 persen pada tahun 2013.
Kebijakan ini disertai pula dengan program pembangunan satu PAUD (pendidikan anak usia dini) di setiap desa, serta pendidikan menengah universal yang dikenal dengan rintisan wajib belajar 12 tahun. Kemdikbud juga mendirikan sejumlah perguruan tinggi negeri di daerah terpencil dan perbatasan untuk memudahkan masyarakat mengakses pendidikan tinggi yang selama ini hanya berada di perkotaan.
Melihat capaian-capaian yang diklaim pemerintahan sebelumnya, tidak salah jika pada masa Anies Baswedan tidak cukup hanya memfokuskan program pada akses pendidikan yang berkeadilan.
Sudah saatnya program tersebut ditingkatkan dengan meningkatkan mutu pendidikan. Sebab, mutu pendidikan Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain, dan mutu pendidikan pula yang diyakini bisa membawa kemajuan Indonesia. (Kompas/Try Harijono)