10 Tokoh Entrepreneur Indonesia


1. Billy Boen Young on Top


Billy Boen adalah entrepreneur muda asal Indonesia. Billy lahir di Jakarta tanggal 13 Agustus 1978. Pada usia yang relatif muda, Billy (panggilan Billy Boen) telah menjadi pimpinan di beberapa perusahaan. Pada 2005, ketika usianya baru 26 tahun, Billy dinobatkan menjadi General Manager PT Oakley Indonesia.
billy-boen

Biografi Billy Boen Young on Top dari Biografi Web

Ia menjadi GM Oakley termuda di dunia kala itu. Pada akhir 2006, bersama Rudhy Buntaram, pemilik Optik Seis, Billy kemudian mendirikan Jakarta International Management (JIM) dan Jakarta International Consulting (JIC) pada akhir 2009. Sekarang, Billy yang merupakan lulusan Utah State University dan State University of West Georgia di Amerika Serikat ini adalah partner dan Presiden Direktur Rolling Stone Cafe Jakarta.
April 2009, Billy menulis buku berjudul “Young On Top” yang diterbitkan oleh GagasMedia. Di 5 bulan pertama, buku itu pun dicetak ulang sebanyak lima kali. Di dalam buku tersebut, Billy menuliskan 30 kunci sukses di usia muda.

Karier Billy Boen

Billy Boen menyelesaikan pendidikan S-1 bidang manajemen dari Utah State University (USU), Amerika Serikat, hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan, mulai 1996 hingga 1999. Dalam periode itu juga, Billy menjadi presiden PERMIAS (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) di kampusnya. Ia juga bergabung dengan persatuan mahasiswa di USU yang bernama Sigma Chi. Billy meneruskan studinya ke State University of West Georgia untuk gelar MBA. Studi S-2 ini ia tempuh dalam tempo setahun dengan predikat kelulusan cum laude, di usia 22 tahun. Seusai lulus, ia memutuskan untuk pulang kembali ke Indonesia.
Dengan prestasi seperti ini, sepulang ke Tanah Air dan bergabung dengan PT Berca Sportindo, distributor tunggal Nike di Indonesia. Posisi awalnya sebagai Asisten Manajer Lini Produk Divisi Footwear. Setahun kemudian, ia naik pangkat menjadi manajer di divisi yang sama. Setengah tahun berikutnya, ia dipromosikan menjadi manajer (yang lebih senior) untuk semua divisi: footwear, apparel, aksesori, dan perlengkapan. Setahun berselang, ia menempati pos Manajer Penjualan & Pemasaran Nike (korporat).
Tahun 2005, Billy keluar PT Berca Sportindo dan bergabung dengan Oakley Indonesia yang berkantor pusat di Bali. Saat itulah, Billy yang kala itu berusia 26 tahun diberi posisi sebagai General Manajer (GM). Hanya dalam tiga tahun, Billy berhasil menaikkan penjualan Oakley hingga tiga kali lipat. Karyawannya pun bertambah, dari 80 menjadi 240 orang. Pada 2008, saat berusia 29 tahun, ia digaet Grup MRA (Mugi Rekso Abadi), dengan jabatan sebagai Kadiv. F&B. saat itu, Billy membawahi tiga entitas bisnis milik Grup MRA, yakni Hard Rock Cafe Jakarta, Hard Rock Cafe Bali, dan Haagen-Dazs, dengan total 500 karyawan.
Bersama Rudhy Buntaram, pemilik Optik Seis, Billy mendirikan Jakarta International Management (JIM) pada Desember 2006 dan Jakarta International Consulting (JIC) pada Desember 2009. JIM bertujuan melayani semua kebutuhan di industri fashion. JIM sendiri memiliki beberapa divisi, yakni: agensi model (JIM Models), manajemen artis (JIM Artists), fashion event organizer (JIM Events), fotografi (JIM Photography), fashion consulting (JIM-DARE Fashion), dan JIM-F performing academy (bekerja sama dengan FashionTV Indonesia). sementara, JIC merupakan konsultan di bidang pemasaran, khususnya pengembangan merek. Dalam menjalankan usahanya, JIC bekerja sama dan bermitra dengan dengan perusahaan lain.

Pemikiran Billy Boen

Banyak orang yang memiliki pemikiran negatif atas sebuah kesuksesan. Bagi Billy, salah satu sebabnya adalah karena ketika mereka sudah berusaha, mereka masih juga belum berhasil. Inilah yang membuat mereka berpikir bahwa keberuntungan belum ada di pihaknya. Ketika mereka melihat ada orang yang mereka anggap berhasil, mereka berpikir bahwa keberhasilan itu semata-mata mereka capai karena adanya unsur keberuntungan (luck). Bagi Billy, sukses adalah ketika seseorang mampu meraih, mencapai, melakukan apa yang ingin dia raih, capai, dan lakukan.
Billy sadar bahwa pencapaiannya juga tentunya ditunjang unsur keberuntungan. Akan tetapi, bagi Billy, keberuntungan itu adalah faktor ‘X’, sebuah faktor yang berada di luar kontrol manusia. Seseorang tidak bisa membuat dirinya beruntung. Baginya, tidaklah masuk akal bila ada seseorang berbicara bahwa ia ingin memenangkan undian esok hari. Daripada berharap untuk beruntung, akan lebih baik kalau seseorang segera bertindak (Just Perform). Artinya, tidak perlu memperdulikan hal-hal yang memang tidak perlu, fokus, dan melakukan semua hal dengan sebaik-baiknya. “Forget about luck and do your best what is within your control!”, begitulah yang sering diucapkannya.
Bagi Billy, daripada berharap untuk beruntung, lebih baik energi dalam tubuh seseorang dihabiskan untuk berpikir dan melakukan segala sesuatunya sebaik mungkin. Kalaupun hasilnya tidak sesuai harapan, setidaknya seseorang akan merasa sedikit puas karena ia telah berusaha untuk melakukannya sebaik mungkin. Baginya, kegagalan dari hasil performa terbaik akan lebih ringan rasanya dibandingkan dengan kegagalan akibat performa yang ala kadarnya.

“Young on Top”

April 2009, ketika usianya 30 tahun, Billy menerbitkan sebuah buku berjudul “Young On Top” yang diterbitkan oleh penerbit GagasMedia. Buku ini ia selesaikan dalam waktu dua setengah tahun. Secara umum, buku ini ditujukan kepada anak-anak muda untuk bisa meraih kesuksesan terutama di dalam pekerjaannya atau di dunia bisnis. Dalam buku tersebut, Billy memberikan 30 kunci sukses di usia muda. Beberapa contoh diantaranya adalah untuk menjadi seseorang yang terbuka, berpikiran positif, tepat waktu, tidak pernah putus asa, dan selalu bertindak lebih dari biasanya.

Pada bagian pertama buku Young on Top, Billy menjelaskan tentang arti pentingnya membangun motivasi, keyakinan, dan optimis dalam menjalani hidup. Segala kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan harus berkualitas dan mencapai hasil yang maksimal. Bagian kedua, Billy membahas bagaimana cara mencapai kesuksesan di usia muda dengan senantiasa mengembangkan kemampuan diri untuk menguasai secara detail bidang pekerjaan yang ditekuni. Di bagian ketiga, Billy memberikan beberapa tips menarik mengenai pemikiran-pemikiran penting yang harus dimiliki seseorang ketika ingin meraih perjalanan karier yang cemerlang. Bagi Billy, seseorang harus selalu aktif dalam mengasah kemampuan, mengedepankan dan mengembangkan sikap tidak berpuas diri dalam menggali ilmu pengetahuan dan informasi, serta tetap rendah hati.

Agama Billy Boen

Banyak yang bertanya, Agama om Billy apa? Agama Billy Boen adalah katolik. Mari kita simak langsung tweet beliau tentang agamanya :
Ada yg nanya agama sy apa. Mom,Sy,Anak: Katolik. Dad,Sister: Kristen. Istri Budha. Kakak+keluarganya: Islam :) I LOVE my family
sumber : https://twitter.com/#!/BillyBoen/status/57061150793277440
Semoga Biografi Billy Boen ini menginspirasi pembaca untuk meraih sukses di usia muda seperti Om Billy.

2. Chairul Tanjung – Anak Singkong Jadi Raja Media


Chairul Tanjung

Akhir-akhir ini mencuat seorang nama di jajaran konglomerat Indonesia. Nama itu adalah Chairul Tanjung. Seorang “anak singkong” atau anak sangat biasa sekali yang kemudian menjadi seorang konglomerat Indonesia bahkan namanya juga termasuk dalam jajaran seribu orangg terkaya dunia.
Siapa sebenarnya sosok Chairul Tanjung ini. Berikut akan dituturkan penulis Biografi Chairul Tanjung, seorang anak yang berasal dari keluarga sederhana bisa menjadi Raja media dan memiliki konglomerasi yang begitu besar.

Biografi Chairul Tanjung

Chairul Tanjung lahir di Jakarta pada tanggal 16 Juni 1962. Orang tua Chairul Tanjung bernama A.G Tanjung (Ayah) yang berketurunan Batak sedangkan ibunya bernama Halimah adalah orang Sunda tepatnya Sukabumi.
Awalnya keluarga Chairul Tanjung adalah keluarga yang berlebih, ayahnya adalah seorang wartawan di jaman Presiden Soekarno dan juga menerbitkan majalah lokal yang oplahnya lumayan. Namun kemudia saat era Soeharto, surat kabar dari ayah Chairul Tanjung dicurigai sebagai antek orde lama dan akhirnya dipaksa untuk tutup.
Dari sinilah perekonomian keluarganya menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Rumah yang cukup luas yang didiami keluarganya terpaksa harus dijual untuk membayar hutang dan memenuhi kebutuhan hidup. Akhirnya Chairul Tanjung bersama saudara dan orang tuanya harus pindah ke kamar losmen yang sangat sempit.
Walau tengah dihimpit kesulitan ekonomi namun ayah dan ibunya ingin anak-anaknya mengenyamm pendidikan setinggi mungkin. Oleh karena itu saat Chairul lulus dari SMA Boedi Oetomo pada tahun 1981, ia kemudian melanjutkan studinya di Kedokteran gigi Universitas Indonesia.  Chairul termasuk mahasiswa yang pandai. Ia sempat mendapat penghargaan sebagai mahasiswa teladan tingkat nasional pada tahun 1984-1985.

Kuliah Sambil Berbisnis

Untuk menopang uang sakunya yang jauh dari cukup, Chairul pun berkuliah sambil berbisnis. Awalnya ia berjualan buku kuliah stensilan, kemudian juga berjualan kaos. Ia bersama temannya kemudian juga membuka usaha foto copy di kampusnya. Ia juga membuka kios di daerah Senen Raya Jakarta Pusat yang menyediakan aneka kebutuhan dan peralatan kedokteran dan laboratorium.
Walau ia harus mmebagi waktu antara kuliah dan berbisnis, namun Chairul bisa menyelesaikan kuliah nya di kedokteran gigi dengan baik. Ia kemudian menyandang gelar Sarjana kedokteran dibelakang namanya. Namun karena darah bisnis rupanya lebih kental, ia kemudian memutuskan untuk menjemput rejeki dari bisnis bukan sebagai dokter gigi.
Chairul kemudian lebih memantabkan bisnisnya dengan mendirikan PT Pariarti Shindutama bersama tiga temannya pada tahun 1987. Bisnis ini bermodalkan hutangan dari bank Exim sebesar 150 juta. Perusahaan Chairul dan temennya ini memproduksi sepatu anak-anak untuk diekspor. Mereka patut berbangga karena begitu mendirikan usaha ini mereka langsung menerima orderan sebesar 160 ribu pasang sepatu dari Itali. Namun kemudian Chairul memutuskan untuk berpisah dan mendirikan usaha sendiri karena ternyata ketiga temannya memiliki visi yang berbeda dengan dirinya.

Membentuk Konglomerasi

Chairul Tanjung kemudian mendirikan perusahaann sendiri yang bergerak dibidang media yaitu mendirikan Trans TV. Chairul Tanjung sangat pandai dalam membangun jaringan . Perusahaannya ini semakin maju dan akhirnya berhasil membuat suatu konglomerasi yang kemudian diberi nama Para Group. Para Group sendiri kemudian membagi tiga ladang usahanya yaitu dibidang keuangan, properti, multimedia.
Di bidang keuangan berkembang menjadi perusahaan seperti :
·         Bank Mega Tbk
·         Asuransi Umum Mega
·         Asuransi Jiwa Mega Life
·         Para Multifinance
·         Mega Capital Indonesia
·         Bank Mega Syariah
·         Mega Finance
Dibidang Investasi, Para Group juga mengakuisi si Carefour Indonesia dimana awalnya hanya memegang 40% saham namun kini Para Group memegang 100% saham Carefour. Kemudian Para Group juga membeli saham Garuda Indonesia tapi entah berapa persen.
Di bidang properti, Para Group memiliki perusahaan seperti :
·         Para Bandung Propertindo
·         Para Bali Propertindo
·         Batam Indah Investindo
·         Mega Indah Propertindo
·         Bandung Supermall
Di bidang multimedia, Para Group membawahi anak perusahaan seperti :
·         Trans TV
·         Trans 7
·         Maha Gaya Perdana
·         Trans Fashion
·         Trans Life Style
·         Trans Studio
·         Diberitakan juga baru-baru ini Para Group juga membeli TV One dan AntV
Karena keberhasilannya ini, Chairul Tanjung kemudian dinobatkan sebagai konglomerat baru di Indonesia dimana beliau berada di urutan ke 937 dunia versi majalah Forbes tahun 2010 (mungkin saat ini urutannya naik) dan juga sebagai orang terkaya ke enam di Indonesia.


Chairul Tanjung kemudian merubah nama Para Group menjadi CT Corp pada tanggal 1 Desember 2011.

Pendidikan Chairul Tanjung

•             SD Van Lith, Jakarta (1975)
•             SMP Van Lith, Jakarta (1978)
•             SMA Negeri I Boedi oetomo, Jakarta (1981)
•             Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia (1987)
•             Executive IPPM (MBA; 1993)

Rahasia Sukes Bisnis Chairul Tanjung

Chairul Tanjung bisa mencapai kesuksesan seperti ini bukan karena beliau adalah orang super. Ini dikarenakan beliau sangat pandai dalam membangun jaringan atau networking. Bagi Chairul, membangun jaringan adalah segalanya bahkann diatas modal itu sendiri. Ketiak bisnisnya lesu maka jaringan bisa diandalkan.
Membangun jaringan tidak hanya pada orang atau perusahaan yang sudah ternama saja, pada perusahaan yang belum ternama pun juga perlu karena siapa tahu esoknya kita memerlukan bantuan mereka bahkan pada seorang kurir pun menjaga networking sangat dibutuhkan.
Dalam membangun bisnisnya, Chairul sangat sabar menapaki tangga bisnisnya. Selain kerja keras, pantang menyerah dan jaringan, kesabaran juga sangat penting. Chairul menyarankan agar tidak melakukan cara-cara instan karena itu hanya akan menjadi api dalam sekam bagi bisnisnya.
Itulah Biografi Chairul Tanjung. Untuk saat ini selain Abu Rizal Bakrie beliau adalah satu-satunya konglomerat yang asli dari darah pribumi Indonesia dan Muslim.

3. Rhenald Kasali - Pakar Management

Rhenald Kasali Tambahkan untuk dibandingkan

[Kartu TI :: Rhenald Kasali]
[Daftar Biografi Rhenald Kasali]

Pakar Manajemen, Guru Besar FEUI

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/3443-ahli-bedah-bisnis
Copyright © tokohindonesia.com
Rhenald Kasali Tambahkan untuk dibandingkan

[Kartu TI :: Rhenald Kasali]
[Daftar Biografi Rhenald Kasali]

Pakar Manajemen, Guru Besar FEUI

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/3443-ahli-bedah-bisnis
Copyright © tokohindonesia.com
Rhenald Kasali lahir di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 1960. Kini ia adalah seorang guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rhenald Kasalidikukuhkan sebagai guru besar pada 4 Juli 2009. Selain itu Rhenald Kasali banyak menulis buku serta bersama dua koleganya mendirikan Rumah Perubahan sebagai bentuk kepedulian akan dunia entrepreneur Indonesia
Sejarah Hidup Rhenald Kasali
Pada waktu ia kelas 3 SD ayahnya di PHK dari pekerjaannya. Kejadian itu membuat Rhenald Kasali dan keluarga menjalani masa-masa sulit. Saat di Kick Andy ia menuturkan bahwa kalau membeli sepatu ia dan ibunya pergi ke taman puring untuk membeli sepatu bekas dan sering kali tidak pas dengan sepatu yang dicari. Dan diantara teman-temannya ia dikenal karena sepatunya yang seperti mulut buaya karena sudah rusak. Rhenald Kasali hanya mempunyai satu seragam sekolah. dan Ibunya harus mencuci seragamnya setiap malam agar esok bisa dipakai kembali. Untuk mengeringkannya pakaian yang telah dicuci dijemur di sekitar lampu pelita / teplok yang menggunakan minyak tanah. Tetapi itu masih lebih baik. Seringkali ia dan keluarganya tidak menemukan makanan untuk dimakan sehingga tetangga datang untuk membawa nasi. Makan nasi dan garam adalah hal yang biasa bagi Rhenald Kasali.
Titik Balik Rhenald Kasali
Rhenald Kasali menuturkan bahwa ia pernah tinggal kelas saat kelas 5 SD. Pelajaran yang membuatnya tidak naik kelas adalah Bahasa Indonesia. Saat itu Rhenald Kasali merasa sangat terpukul saat melihat orang tuanya menangis, dan ia merasa semua orang melihatnya seperti seorang anak yang bodoh. tetapi justru disitulah titik balik dimana Rhenald Kasali bertekad untuk merubah kehidupannya dan bertekad untuk menuntut ilmu sampai ke jenjang tertinggi.
Ketika lulus SMA ia hanya diberi uang 10.000 rupiah untuk mendaftar kuliah. Untuk membeli formulir IPA harganya 10.000 rupiah. Formulir IPS harganya juga 10.000 rupiah. Dengan pertimbangan karena SMA-nya IPA sehingga dengan melihat daya saing dirinya akhirnya Rhenald Kasali memutuskan memilih IPS. Rhenald Kasali mengambil Fakultas Ekonomi UI dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara karena akan diberi beasiswa jika diterima kuliah di STAN.
Akhirnya ia diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Untuk membayar uang kuliah dan biaya hidup sehari-hari ia memberikan les privat untuk anak-anak SD. Untuk kebutuhan buku kuliah ia mendekati para seniornya dan meminjam buku dari teman-temannya. Pada tingkat dua barulah ia mendapatkan beasiswa.
Lulus kuliah tahun 1985 dan bekerja sebagai reporter sejak tahun 1984. Pada waktu itu ia mendapatkan tawaran dari salah satu seniornya untuk menulis case study. Di situ peluang untuk mengajar terbuka lebar karena ia ditawari untuk mengajar. Sebenarnya ia tidak memenuhi kualifikasi sebagai pengajar karena IP-nya hanya 2.49.
Pada saat Rhenald Kasali mulai mengajar ia melihat junior juniornya mulai kembali dari luar negeri dan mereka mempunyai gelar yang lebih baik. Karena itu ia kemudian bertekad untuk belajar bahasa Inggris 3 bulan di Amerika. Setelah kembali di Indonesia ia mencari sponsor untuk membiayai kuliahnya di luar negeri. Setelah mendapatkan sponsor ia kembali ke Amerika dan pulang dengan membawa gelar master dan doktor dari University of Illinois.
Bagi Rhenald Kasali, “Pendidikan adalah tangga untuk keluar dari kemiskinan. Tanpa pendidikan kita tidak bisa memperbaiki hidup kita. Tanpa pendidikan kita tidak bisa mendidik orang lain. tanpa pendidikan kita tidak bisa mendidik anak-anak kita. Maka kalau saya mau kelaur dari belenggu itu, saya harus fight. Karena belenggu itu adanya di sekitar diri kita sendiri. Tidak dimana-mana. Saya melihat teman saya banyak yang pintar tetapi mereka justru mengabaikan itu. Mereka merasa selalu didatangi dan hampir semua teman saya yang pintar itu ternyata tidak selesai doktornya di Amerika. Sedangkan saya yang tidak pernah merasa pintar waktu itu bisa selesai dan ketika teman saya mengatakan “Saya nggak percaya” dan saya juga mengatakan “Eh, gua juga nggak percaya”. Seperti kata Michael Angelo, pada setiap batu cadas selalu terkandung patung yang indah. Karena itu tugas kita adalah membebaskan patung itu dari belenggu belenggu yang mengikatnya.”
Selain bergerak sebagai akademisi, Rhenald Kasali yang mendapatkan gelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga produktif menulis. Buku – buku yang ditulisnya selalu menjadi perhatian kalangan bisnis. Beberapa buku yang telah ditulis oleh Rhenald Kasali antara lain : Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting dan Positioning (1998), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Myelin: Mobilisasi intengibles sebagai kekuatan perubahan (2010), Cracking Zone (2011).
Bagi Rhenald Kasali bisnis adalah perihal membuat sesuatu menjadi hal yang luar biasa, itulah bisnis. Dalam pengembangkan bisnis ia menegaskan bahwa yang diperlukan adalah pola pikir kewirausahaan (entrepreneurship), bukannya keberuntungan (luck). Bahwa kewirausahaan bukanlah ada sendiri, tetap harus diciptakan.
Baginya, keberuntungan sebenarnya adalah ketika kesempatan bertemu dengan persiapan. Artinya, keberuntungan sendiri tampaknya mempunyai sifat yang sama dengan kewirausahaan yang pada dasarnya “diciptakan”. Keberuntungan tidak akan datang dengan sendirinya. Keberuntungan ada karena ada usaha sebelumnya. Dari sinilah dapat dipahami betapa pentingnya latihan yang terus menerus dan pantang menyerah oleh mereka yang ingin terjun dalam dunia bisnis.
Akan tetapi, seorang wirausahawan (entrepreneur) harus melakukan reinvestasi. Baginya, tujuan orang berwirausaha bukan untuk menjadi kaya, karena kaya hanyalah akibat. Rhenald Kasali menyatakan bahwa seorang wirausahawan yang hanya menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama dalam berwirausaha adalah bentuk pengkhiatan terhadap kewirausahaan.
Dalam bukunya, Myelin Rhenald Kasali menyatakan bahwa myelin (muscle memory) sebagai faktor penting untuk menjembatani gagasan yang dihasilkan “brain memory” bisa sampai di tujuan dengan “mengendarai” myelin yang terlatih. Artinya, tidak ada keraguan atas kecerdasan sumber daya manusia Indonesia. Sebagai contoh, sudah banyak anak-anak Indonesia yang memenangi olimpiade fisika atau matematika dunia.Namun, Rhenald Kasali menegaskan bahwa pengetahuan saja tidaklah cukup untuk meraih kesuksesan. Kunci kesuksesan adalah terus berlatih. Semakin sering berlatih maka jaminan untuk sukses semakin nyata.

Kita semua mempunyai pilihan. Ingin menjadi telur atau menjadi bola tenis. Kalau menjadi telur, lebih keras tetapi kalau jatuh kebawah pecah dan tidak mempunyai daya membal. Kalau bola tenis, dia begitu jatuh dan semakin dia di tekan semakin tinggi dia naik ke atas. Perubahan tidak akan terjadi sebelum kita sendiri melakukannya. Syaratnya adalah kita harus action, harus bertindak. Harus mendatangi. Harus melangkah.

-Rhenald Kasali-



4. Hinda Japar Pengusaha Dodol Garut Pusaka


Hinda Japar adalah seorang pengusaha Dodol Garut yang sukses meraup omset ratusan juta rupiah. Hinda yang saat ini menjabat sebagai Direktur Perusahaan Dodol Garut Pusaka, meraup omset yang besar dengan cara memasarkan Dodol Garut ke ke seluruh penjuru Pulau Jawa hingga Kalimantan. Hinda Japar bukanlah orang yang memiliki pendidikan tinggi untuk bisa sesukses saat ini. Beliau hanyalah lulusan SMA PGRI dan memulai bisnis dengan membantu orang tuanya dari kecil hingga menjadi pimpinan perusahaan rintisan orang tua beliau pada tahun 2005.
hinda-japar

Biografi Hinda Japar Pengusaha Dodol Garut Pusaka

Berawal dari bantu-bantu bisnis orangtua, Hinda Japar kini sukses menjadi pengusaha dodol di Garut, Jawa Barat. Dari usaha ini ia meraup omzet hingga Rp 400 juta per bulan.
Ada banyak variasi olahan makanan khas Kota Garut yang dipasarkannya dengan merek Pusaka dan Pusaka JS. Dodol Garut Pusaka merupakan bisnis yang dirintis oleh orang tua Hinda sejak tahun 1970-an.
Awalnya dodol Pusaka merupakan usaha rumahan dengan skala kecil. Hinda kemudian mengambil alih bisnis orangtuanya itu pada 2005. Hingga saat ini, Hinda menjabat Direktur Perusahaan Dodol Garut Pusaka.
Dalam sehari, pabrik dodol milik Hinda bisa memproduksi rata-rata 1 ton dodol. Harga dodol di tingkat pabrik Rp 16.500 – Rp 17.000 per kilogram (kg). “Jadi, omzet saya dalam sebulan mencapai Rp 400 juta,” kata Hinda.
Hinda-Japar-Pengusaha-Dodol-Garut-Pusaka-4
Selain pabrik, Hinda juga memiliki dua toko untuk memasarkan produk dodol buatannya itu. Di dua toko itu, ia menjual pelbagai varian dodol, seperti dodol dengan rasa buah-buahan dan rujak dodol.

Membantu Usaha Dodol Keluarga Dari SD

Hinda Japar sudah ikut membantu kedua orang tuanya mengelola usaha pembuatan dodol sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Tepatnya sejak tahun 1970-an. “Saya hanya bertugas membantu produksi di pabrik kecil milik orang tua,” katanya.
Sebagai anak pertama di keluarganya, Hinda memang dipersiapkan untuk meneruskan bisnis orang tuanya ini. Di tahun 1970-an itu, menurut Hinda, bisnis dodol Pusaka milik orang tuanya masih skala kecil.
Baru di tahun 1990-an, merek dodol Pusaka dikenal oleh masyarakat Jawa Barat. Sejak saat itu, dodol Pusaka diproduksi dalam jumlah besar.  Makanya, ketika lulus sekolah menengah atas (SMA) pada 1989, Hinda memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Ia memilih fokus membantu orang tuanya membesarkan usaha.
Pria 43 tahun ini sudah mulai membantu bisnis orang tuanya sejak tamat dari bangku SMA pada tahun 1989. Tapi, baru tahun 2005 ia memegang tampuk kepemimpinan di perusahaan keluarga itu.
Oleh orang tuanya, ia diberi tugas mengurus produksi dan pemasaran dodol Pusaka. Pada tahun 2005, usaha dodol ini baru diwariskan ke Hinda. Langkah pertama yang dilakukannya saat menerima usaha ini adalah memperkuat produksi. “Saat itu saya langsung membangun pabrik sendiri,” ujarnya.
Hinda-Japar-Pengusaha-Dodol-Garut-Pusaka-6
Hinda sempat mengalami kekurangan dana untuk membangun pabrik. Pasalnya, ia butuh pabrik skala besar yang bisa memproduksi dodol dalam jumlah banyak. Selain biaya buat membangun pabrik, ia juga perlu biaya lumayan besar buat membeli tanah.
Untungnya, kekurangan dana bisa tutup dari pinjaman dari bank. “Karena usaha orang tua saya ini sudah terkenal, bank percaya saja meminjamkan uang kepada saya,” ucapnya.
Kini, pabrik barunya itu mampu memproduksi dodol sebanyak 1 ton per hari. Setelah pendirian pabrik selesai, ia terus mencari strategi untuk mengembangkan pemasaran dodol Pusaka.
Salah satunya dengan rajin mengikuti pameran kuliner di Jakarta. Dari pameran ini, produk dodolnya semakin dikenal luas. Selain di Jawa Barat, ia sekarang sering mendapat pesanan dari daerah-daerah.
Hingga saat ini, Hinda terus berupaya untuk memperluas pemasaran dodol Pusaka. Menurutnya, tidak cukup hanya mengandalkan penjualan dari toko. Soalnya, penjualan toko sangat bergantung kepada musim liburan.“Biasanya baru ramai pembeli kalau libur sekolah dan banyak yang berkunjung ke Garut saja,” katanya.
Apalagi, sekarang di Garut semakin banyak kompetitor di bidang usaha yang sama. Bahkan, di daerahnya itu kini banyak muncul produsen dodol dengan kualitas rendah yang merusak pasar.
Saat mulai dikendalikannya, usaha warisan orang tua ini memiliki kelemahan di bidang pemasaran. Ketika itu, Dodol Pusaka hanya dipasarkan di wilayah Garut. Namun, setelah beberapa tahun dikelola Hinda, wilayah pemasarannya meluas hingga ke Jakarta, Bandung, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan.
Kebanyakan, konsumennya merupakan pedagang makanan di daerahnya masing-masing. Biasanya, mereka menjual lagi dodol buatannya dengan harga Rp 30.000 hingga Rp 60.000 per kotak.
Menurut Hinda, pelanggannya di Kalimantan ada yang memasok dodolnya ke beberapa pusat perbelanjaan. Sementara pelanggannya di Jawa Timur ada yang memasok ke toko oleh-oleh di beberapa tempat wisata.

Ekspor ke Dubai dan Singapura

Sukses di bisnis dodol Garut dengan omzet ratusan juta, tak membuat Hinda Japar cepat puas. Ia masih berambisi untuk terus membesarkan usaha pembuatan dodol Garut peninggalan orang tuanya itu.
Hinda mengaku, ingin sekali mengekspor produk dodol Garut merek Pusaka buatannya ke luar negeri. Ia menargetkan, rencana ekspor itu bisa terwujud tahun ini juga. Hinda mengaku, saat masih menjadi mitra binaan PT Krakatau Steel pernah mengekspor dodol Pusaka ke Dubai, Uni Emirat Arab.
Ekspor ke Dubai itu berlangsung sekitar tahun 2000-an. Namun, ekspor terpaksa dihentikan karena keterbatasan manajemen. Pengalaman itu juga yang mendorongnya untuk mencoba kembali melakukan ekspor.
Ia optimis, keinginan untuk ekspor tahun ini bisa terealisasi. “Soalnya, sekarang ini saya sudah mendapatkan satu calon buyer dari Singapura,” katanya.
Namun, rencana ekspor ini bukannya tanpa halangan. Salah satunya di bidang kemasan. Untuk ekspor diperlukan kualitas kemasan agak bagus. Namun, biayanya tentu besar. Nah, ia khawatir ongkos produksi bakal membengkak.
Hinda-Japar-Pengusaha-Dodol-Garut-Pusaka-5
Makanya, sekarang ia sedang mencari cara untuk menurunkan ongkos produksi ini. Tidak hanya itu, ia juga masih merasa perlu melakukan inovasi produk. Menurutnya, varian dodol Pusaka masih kurang beragam. Sejak meluncurkan varian rujak dodol tahun lalu, ia belum menemukan lagi varian baru untuk dikembangkan.
Sampai saat ini ia masih terus berusaha menemukan resep baru untuk produk dodolnya tersebut. Lantaran perhatiannya masih terfokus kepada usaha dodolnya, ia mengaku belum berencana merambah bisnis lain.
Hinda-Japar-Pengusaha-Dodol-Garut-Pusaka-2

Kerugian oleh Agen di Daerah

Bagi Hinda, bisnis dodol sendiri penuh dengan tantangan. Selama mengelola usaha ini, ia pernah beberapa kali dirugikan oleh agen, terutama agen-agen kecil.
Soalnya, mereka ini sering telat melakukan pembayaran. Bahkan, ada juga yang tidak melakukan pembayaran sama sekali. Padahal, produk sudah terlanjur dikirim.
Agen besar juga pernah mangkir dari kewajiban membayar. Hal itu pernah dilakukan agen besar di wilayah Surabaya, Jawa Timur dan Cianjur, Jawa Barat. “Alasan mereka saat itu sudah bangkrut, sehingga tidak memiliki uang lagi untuk membayar saya,” ujarnya. Kini, Hinda lebih berhati-hati dalam memilih agen yang akan memasarkan produknya.
Hinda-Japar-Pengusaha-Dodol-Garut-Pusaka-1
Dengan adanya Hinda Japar sebagai wirausahawan atau entrepreneur yang sukses dari Garut, diharapkan warga Garut mengambil inspirasi dari perjuangan beliau. Usaha Hinda mengalami pertumbuhan dengan beberapa kali kerugian, namun hal itu tidak membuatnya mundur. Semoga pengusaha lokal dapat terus maju untuk mengembangkan industri UKM di Indonesia.

Referensi

Facebook Hinda Japar
http://bisniskeuangan.kompas.com




5. Bob Sadino


Bob Sadino, atau akrab dipanggil Om Bob, adalah seorang pengusaha asal Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Ia adalah pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Dalam banyak kesempatan, ia sering terlihat menggunakan kemeja lengan pendek dan celana pendek yang menjadi ciri khasnya. Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan di Lampung, 9 Maret 1933. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan.
bob-sadino

Biografi Bob Sadino dari Biografi Web

Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed.
Pada tahun 1967, Bob Sadino dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.
Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah. Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.
Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.
Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.
Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.
Bisnis pasar swalayan Bob Sadino berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.
Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.
Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.
Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.
Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.
Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.

Anak Guru

Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.
Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.
Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya ikut hancur,” kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ”Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.”
Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ”warung” shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.
”Saya hidup dari fantasi,” kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ”Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,” kata Bob.
Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.
Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.
Nama : Bob Sadino
Lahir : Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama : Islam
Pendidikan :
SD, Yogyakarta (1947)
SMP, Jakarta (1950)
SMA, Jakarta (1953)
Karir :
  • Karyawan Unilever (1954-1955)
  • Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
  • Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
  • Dirut PT Boga Catur Rata
  • PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
  • PT Kem Farms (kebun sayur)
Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 793981
Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618




6. Andi Susanto Pengusaha Sewa PC dan Kamera


Andi Susanto adalah seorang pengusaha penyewaan PC dan kamera yang sukses. Beliau awalnya adalah seorang karyawan biasa, namun kemudian nekat mengundurkan diri dan berjuang membangun usahanya sendiri. Saat ini pak Andi Susanto sedang membesarkan perusahaannya sendiri PT Megawastu Solusindo dan PT Megawastu Digital dengan sebuah website www.sewakamera.com. Mari kita simak pengalaman hidup Pak Andi Susanto.
andi-susanto

Biografi Andi Susanto Pengusaha Sewa PC dan Kamera

Melalui PT Megawastu Solusindo dan PT Megawastu Digital, Andi Susanto sukses mengembangkan bisnis penyewaan personal computer (PC) dan penyewaan kamera. Ia bahkan keluar dari pekerjaan karena keinginan berbisnis sendiri.
Sebelum menjadi pengusaha, Andi Susanto pernah bekerja sebagai karyawan di sebuah media asing di Jakarta. Saat itu, tugas Andi adalah sebagai penyuplai data, seperti kurs mata uang, valuta asing, data perdagangan saham, dan juga bursa komoditas. Hampir sepuluh tahun lamanya Andi mengabdi di media itu. Ia pernah menempati berbagai posisi, mulai staf biasa hingga jabatan yang terakhir menjadi account manager.
Saat menjabat sebagai account manager itu, Andi banyak mengerjakan berbagai data penting yang menyangkut perbankan dan perusahaan. “Saya memang memiliki banyak pengalaman soal data,” kata alumnus Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah itu.
Walaupun jabatan terakhirnya terbilang nyaman, namun pria berusia 42 tahun ini tak tertarik untuk meneruskan kariernya. Ia memilih mengundurkan diri pada tahun 2001 karena lebih tertarik berbisnis sendiri. Keputusan Andi membuka usaha sendiri sebenarnya adalah wujud cita-cita masa kecilnya, yaitu menjadi seorang pengusaha. Karena itu, begitu lepas dari status karyawan, Andi langsung menyusun konsep usaha yang bakal dijalaninya, yaitu usaha penyewaan PC. Begitu persiapan sudah matang, melalui bendera usaha PT Megawastu Solusindo, pada 2003, Andi mulai menawarkan jasa sewa PC. Perusahaan ini berdiri dengan modal yang berasal dari tabungan Andi dan sebagian lainnya utang bank. Pertama kali menawarkan jasanya, Andi menawarkan 80 set PC dengan enam unit server. Tapi tak semua PC itu laku disewa. “Meyakinkan klien dengan usaha baru itu ternyata sulit,” kenang Andi.
Butuh tiga tahun bagi Andi meyakinkan para calon klien bahwa menggunakan PC sewaan itu lebih efisien bagi perusahaan. Sampai 2006 usahanya mulai stabil dan ia berhasil mendapatkan dua kontrak sewa jangka panjang dari perbankan. Seiring waktu, jumlah klien Andi terus bertambah. Hingga kini, tak kurang 10 klien sudah berada di genggaman Andi, baik klien perbankan maupun klien perusahaan. Setidaknya 300 PC kini sudah tersebar di berbagai usaha itu.
Andi menyewakan PC itu dalam bentuk paket. Satu set PC yang disewakan terdiri dari central processing unit (CPU), monitor, keyboard, mouse, berikut dengan software. Klien Andi yang kebanyakan dari perbankan memang bukan kebetulan. Seperti kata ahli pemasaran, berjualan akan lebih mudah kalau sudah mengenal calon pembelinya.
Jurus itu pula yang dipakai Andi. Saat ia masih bekerja di perusahaan media, Andi memang sudah banyak kenal dengan kalangan perbankan yang menjadi relasi perusahaannya. “Saya dulu bekerja dengan profesional, sehingga banyak relasi percaya dengan bisnis saya,” klaim Andi.
Untuk merawat kepercayaan itu, Andi berusaha memberikan pelayanan terbaik. Ia menyiagakan tim reparasi PC selama 24 jam plus tenaga teknisi yang khusus menjaga data klien bila terjadi kerusakan PC. “Saya punya layanan pencegahan jika terjadi kerusakan, inilah nilai tambah bisnis saya,” terang Andi.
Andi menegaskan, bisnis sewa PC ini memang bukan hasil pertimbangan semalam. Sebelum terjun ke bisnis ini, Andi sudah melakukan analisis kelayakan bisnis serta kesiapan pasar. Ketika itu, Andi sadar bisnis ini persaingannya ketat. Namun hasil analisisnya, tidak semua persewaan PC berani menawarkan jasa untuk kebutuhan divisi trading. “Peluang inilah yang saya ambil,” katanya.
Menurut Andi, setiap perbankan memiliki divisi trading yang bertugas melakukan transaksi keuangan, termasuk transaksi kurs antarbank. Divisi ini biasanya butuh data historis agar mudah menganalisis pasar modal. “Saya unggul karena paham dengan informasi trading yang dibutuhkan perbankan itu,” terang Andi. Untuk mendukung usaha itu, pada 2005 Andi mengembangkan software khusus yang bisa mempercepat proses transaksi. Ia menawarkan software itu khusus untuk membuat transaksi real time. “Intinya harus kreatif memberikan pelayanan sewa PC ini,” jelas Andi.
Saat ini melayani penyewaan komputer di 10 bank besar di Tanah Air. Andi mengaku, dengan tarif sewa Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per bulan, omzet per bulan dari bisnis ini mencapai Rp 500 juta.

Membisniskan hobi fotografi

Setelah sukses di usaha penyewaan personal computer (PC), Andi Sudanto melebarkan sayap bisnis mendirikan penyewaan alat fotografi pada 2007. Dengan modal Rp 300 juta, bisnis penyewaan alat fotografi itu kini mampu mendulang omzet Rp 100 juta per bulan. Pelanggan Andi adalah para penggemar fotografi.
Dengan mengusung bendera PT Megawastu Digital, Andi menawarkan jasa sewa peralatan fotografi itu sejak 2007. Lewat situs sewakamera.com, Andi memasarkan beragam jenis kamera untuk disewakan, mulai kamera digital single lens reflex (DSLR) hingga kamera non DSLR, termasuk kamera untuk video.
Tak hanya itu, Andi juga memperkaya jasa sewa alat fotografi itu dengan beragam aksesori fotografi, seperti lensa, filter, flash, studio lighting, tripod, layar background, baterai, printer foto, hingga kostum untuk model foto. Keputusan Andi membuka jasa sewa kamera itu terinspirasi dari hobinya di bidang fotografi. Pria berusia 42 tahun itu menyenangi fotografi sejak 2004, kala itu ia aktif dalam kegiatan salah satu komunitas foto di Jakarta.
Di komunitas fotografi itulah Andi menemukan ide membuka usaha penyewaan alat fotografi. Ia melihat banyak peralatan fotografi yang dibutuhkan penggemar fotografi. “Saat itulah saya kepikiran membuat usaha penyewaan alat fotografi, apalagi saat itu penyewaan alat fotografi masih langka,” terang Andi.
Walaupun ada yang menyewakan alat fotografi, tapi hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang. “Saat itu banyak fotografer hanya memanfaatkan pinjam-meminjam peralatan dari teman,” terang Andi.
Sebelum memutuskan untuk membuka usaha sewa alat fotografi itu, Andi terlebih dahulu melakukan survei pasar. Hasilnya, Andi menemukan banyak penggemar fotografi tetapi tidak memiliki peralatan fotografi yang lengkap. “Kelompok inilah konsumen saya,” ucap Andi.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Andi lantas mendirikan usaha penyewaan alat fotografi itu. Dengan modal Rp 300 juta, ia membeli beberapa buah kamera DSLR, lensa serta aksesori kamera secukupnya. Untuk mendapatkan pelanggan, Andi buka kantor di Jakarta dan kantor cabang di Bali. Ia sengaja buka cabang di Bali karena Bali adalah daerah tujuan wisata yang kerap jadi tujuan memotret bagi fotografer.
Setiap pekan, Andi melayani sedikitnya 100 penyewa kamera, lensa atau aksesori fotografi lainnya. Para penyewa itu berasal dari Jabodetabek dan Bali. Untuk harga sewa alat fotografi seperti kamera, Andi mematok tarif mulai Rp 130.000 per hari sampai jutaan rupiah. Harga tergantung dari jenis kamera yang disewa. Semakin berkualitas kamera itu tentu semakin mahal tarif sewanya.
Adapun tarif sewa lensa, Andi mematok seharga Rp 25.000 sampai dengan Rp 560.000 per hari, tergantung ukuran dan harga lensa yang disewakan tersebut. “Sekarang ini saya punya 200 ragam jenis lensa yang bisa disewakan,” jelas Andi.
Dari jasa sewa alat fotografi tersebut, Andi setidaknya mampu mendulang omzet hingga Rp 100 juta per bulan. Omzet itu tidak hanya datang dari jasa penyewaan saja, tetapi juga dari denda keterlambatan sewa sampai dengan biaya ganti rugi jika terjadi kerusakan alat oleh si penyewa. Andi mencatat, sejak memulai usaha ia sudah melayani 4.000 pelanggan. “Kebanyakan dari mereka adalah fotografer profesional, tapi tentu ada juga yang amatir,” ungkap Andi.
Menurut Andi, bisnis penyewaan fotografi akan terus berkembang seiring dengan perkembangan dunia teknologi informasi. Maraknya media sosial juga ikut mempopulerkan fotografi. “Semakin banyak penggemar fotografi, semakin berkembang juga usaha penyewaan kami ini,” kata dia.
Namun begitu, untuk menekuni bisnis penyewaan alat fotografi memiliki risiko. Sebab, usaha penyewaan alat ini butuh modal besar karena harga alat fotografi tersebut terbilang mahal. Jika tidak hati-hati, alat yang akan disewakan itu bisa rusak atau bahkan raib dibawa oleh si penyewa yang tak bertanggung jawab. “Maka itu kami mewajibkan adanya identitas bagi si penyewa alat kami,” kata Andi.




7. Farry Tandean Top Eksportir Mebel


Farry Tandean adalah seorang pengusaha mebel dan interior ternama dari Kota Cirebon. Beliau memulai bisnis mebelnya dari 1995 dan sampai saat telah sukses menjadi eksportir mebel kualitas tinggi ke berbagai negara. Mari kita simak kisah sukses Pak Farry Tandean.
farry-tandean

Biografi Farry Tandean Pengusaha Mebel

Jika bukan karena orang tuanya, Farry Tandean tidak mungkin bekerja sebagai pengusaha mebel dan interior. Selain membuat mebel dengan desain inovatif, ia juga berbisnis ubin dan panel dekoratif berbahan limbah batok kelapa.
Di saat bisnis mebel ekspor melesu, sebagian orang bakal menganggap industri ini sedang tiarap. Padahal, jangan salah, sebagian kecil eksportir tetap bertahan. Salah satunya adalah Farry Tandean. Pemilik PT Jati Vision Raya (Java) dan Cocomosaic Indonesia ini tetap bertahan dan mengekspor produk mebel dengan desain inovatif ke berbagai negara.
Sejak memulai bisnis mebel 16 tahun silam, Farry memang berorientasi mengekspor produk ke luar negeri. Ia merupakan salah satu dari sedikit produsen mebel asal Cirebon yang sejak puluhan tahun silam aktif menjaring pembeli (buyer) luar negeri lewat pelbagai pameran. Saat ini banyak pembelinya berasal beberapa negara di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Ia juga punya perwakilan penjualan di puluhan negara.
Tiap tahun, pendapatan Farry dari ekspor produk mebel bisa mencapai 5 juta–7,5 juta dollar AS. Salah satu keunggulan bisnis Java adalah memberi nilai lebih pada produk mebel dengan kualitas dan inovasi desain. Baru-baru ini, produk Cocomosaic berhasil masuk dalam lima besar Gaia Award 2011 di Dubai. Penghargaan ini diberikan bagi produk inovatif di bidang konstruksi dan bangunan yang ramah lingkungan.
Lahir dari keluarga pedagang kelontong di Cirebon, sejak kecil 45 tahun silam, orang tua Farry biasa menerapkan disiplin dalam penggunaan keuangan. Impian orang tuanya adalah anak-anaknya sekolah di luar negeri. “Saya rela tidak dibelikan mobil demi bisa bersekolah di Amerika,” ungkap anak keenam dari tujuh bersaudara ini.
Alhasil, setelah menyelesaikan SD dan SMP di Cirebon, saat kelas III SMA, Farry dikirim orang tuanya ke Kanada untuk persiapan kuliah di Amerika Serikat. Pada tahun 1990, Farry menamatkan pendidikan di University of Minessota, dengan menyabet dua gelar master di bidang electrical engineering dan computer science. Semuanya diselesaikan dengan predikat magna cum laude.
Setelah kuliah, Farry ikut program management trainee di General Electric sebagai accelerated candidate untuk fast track Information Systems Management Program (ISMP). Meski bergaji 35.000 dollar AS per tahun, ia merasa ada yang kurang. “Mungkin karena orang tua saya pedagang, ada yang kurang jika saya hanya menjadi karyawan,” katanya.
Pada tahun 1993, Farry memutuskan pulang ke Cirebon atas permintaan orang tuanya. Sebagai anak lelaki pertama di keluarga, ia merasa punya tanggung jawab besar merawat orang tuanya yang sudah tua. “Kakak-kakak perempuan saya ikut suami ke luar negeri, sementara saya dan adik lelaki saya di Cirebon,” katanya.
Usaha pertama Farry Tandean adalah meneruskan toko kelontong orang tuanya. Tiap bulan, ia hanya mendapat uang jajan sebesar Rp 500.000. Ia juga ikut membantu mengelola pemasaran bisnis adiknya, Wika Tandean. “Adik saya menjual rotan mentah ke perusahaan mebel di Cirebon,” katanya.
Masuk ke bagian pemasaran membuat Farry mengenal banyak buyer rotan dan mebel dari luar negeri. Suatu saat, ia mendapat tawaran dari seorang buyer dari Jepang untuk memasok keperluan mebel ke Jepang. Alhasil, dengan modal Rp 300 juta dari orang tua, pada tahun 1993, ia mendirikan perusahaan patungan yang khusus menggarap pasar mebel untuk diekspor ke Jepang.
Kurang lebih satu setengah tahun berkongsi, Farry memilih mandiri dengan membuat perusahaan sejenis untuk menggarap pasar di luar Jepang. Tahun 1995, ia mendirikan Java. Saat pengusaha rotan dan mebel masih bergantung pada buyer yang datang, ia sudah aktif menawarkan produk lewat pameran. “Sampai-sampai kegiatan produksi dan kualitas kami kadang terbengkalai,” katanya.

Berkah krisis moneter

Lantaran Farry menerapkan standar kualitas produk Eropa dan Amerika, para buyer langsung tertarik menjadi pelanggan. Pada tahun 1998, bisnisnya semakin besar. Saat terjadi devaluasi parah, sebagai eksportir ia malah pesta pora. “Saya bisa mendapatkan untung Rp 100 juta dengan hanya mengirimkan 1.000 keranjang kecil seharga 12 dollar AS per unit,” ujarnya. Saat itu, biaya produksinya hanya Rp 15.000, tapi kurs Rp 10.000–Rp 12.000 per dollar AS.
Tahun itu juga, Farry memindahkan usaha di lokasi seluas 50.000 meter persegi. Kini, di atas lokasi itu sudah berdiri tiga pabrik dan tiga ruang pamer. Perusahaan ini punya tiga divisi: Java, Bali luz (lampu dekoratif), dan Valentti Lifestyle.
Untuk memperluas pasar, tahun 2010, Farry mendirikan Cocomosaic yang mengolah limbah batok kelapa menjadi material dekoratif nan eksotis untuk keperluan arsitektur dan desain interior. Pasarnya ada di puluhan negara.
Farry mendapat pasokan batok kelapa dari masyarakat. Ia berharap, dalam tiga tahun, Cocomosaic bisa menambah nilai ekspor Java mencapai lebih dari Rp 30 miliar.
Mudah-mudahan pebisnis tanah air bisa mengejar kesukseskan Pak Farry Tandean. Semakin banyak pengusaha, semakin banyak tenaga kerja terserap. Indonesia bangkit!




8. Trisno Yuwono, Mantan TKI kini Bos Swalayan


Trisno Yuwono adalah seorang mantan TKI yang saat ini sukses menjadi Bos Swalayan. Pak Trisno lahir di Blitar, 12 Agustus 1970. Beliau dahulu bekerja sebagai supir di Arab, kini sukses membangun wirausaha bisnis swalayannya di daerah Jawa timur dengan omset Rp 35 miliar per tahun. Atas prestasinya, Trisno Yuwono memperoleh penghargaan Indonesia International Migrant Worker’s Award 2011dari UKM Center FEUI. Mari kita simak kisah hidup Pak Trisno Yuwono.
trisno-yuwono

Biografi Trisno Yuwono, Mantan TKI kini Bos Swalayan

Pengalaman bisa ditimba dari mana saja. Asal ada tekad, mimpi yang diperjuangkan membuahkan hasil. Demikian juga yang berlaku pada Trisno Yuwono. Mengawali usia produktifnya sebagai TKI, ia sukses mengembangkan Sari-Sari Swalayan di Blitar.
Di tengah dominasi jaringan minimarket yang berkembang dengan sistem waralaba, masih ada pengusaha di daerah yang bisa bersaing. Salah satunya adalah Sari-Sari Swalayan di Blitar. Tujuh gerai milik Trisno Yuwono itu tetap bisa bertahan dan berkembang dengan omzet total mencapai miliaran rupiah per tahun.
Sejak memulai bisnis ini pada tahun 2000 hingga sekarang, Trisno sudah memiliki tujuh gerai Sari-Sari Swalayan yang tersebar di daerah Blitar dan Tulungagung, Jawa Timur. “Satu gerai bisa menghasilkan omzet lebih dari Rp 10 juta per hari,” ujar Trisno. Alhasil, ketujuh swalayannya mampu mencatatkan omzet hingga Rp 35 miliar per tahun.

Trisno Yuwono Muda

Sebenarnya, menjadi pengusaha eceran bukanlah cita-cita Trisno. Pendidikan terakhir suami Eva Karisma Dewi ini adalah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Blitar, Jawa Timur. “Cuma sebentar kuliah. Saya pikir kalau lulus cuma menjadi guru. Saya memilih keluar tanpa tahu mau bekerja apa,” ujar lelaki berkepala plontos ini.
Peristiwa meletusnya Gunung Kelud yang terjadi pada 1991 mendorong Trisno mencari penghidupan yang lebih baik di kota lain. Targetnya bukan ke Jakarta atau kota besar di Indonesia, ia memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. “Waktu itu, ada tetangga yang menjadi TKW di Arab pulang. Saya tanya dia bagaimana prosesnya bisa bekerja di Arab,” kenangnya.
Trisno bermimpi, dengan menjadi tenaga kerja di luar negeri, penghidupannya bisa lebih baik ketimbang menjadi seorang guru. “Pada tahun 1991, di Blitar belum banyak yang menjadi TKI. Saat itu saya nekat saja, mencoba-coba,” ujar bapak tiga anak ini.
Kala itu Trisno berstatus pengangguran. Ia nekat pergi ke Surabaya untuk melamar menjadi TKI. “Menurut teman saya, penyalurnya ada di Surabaya,” katanya. Berbekal uang Rp 1,5 juta hasil menjual sepeda motor, ia tidak kesulitan membiayai segala urusan administrasi di perusahaan penyalur TKI tersebut.
Sembari menunggu pengiriman, selama dua bulan Trisno berada di penampungan TKI di Jakarta, tanpa ada pembekalan keterampilan. “Kerjanya cuma makan dan tidur,” katanya. Alhasil, ketika dikirim ke Arab Saudi, dia tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Arab.

Pengalaman Trisno Yuwono Menjadi TKI

Tugas awal Trisno sebagai TKI di Arab Saudi adalah bekerja sebagai sopir di kantor gubernur Kota Tabuk. Karena ketidakmampuan berbahasa asing, ia suka dikerjai majikan dan teman-teman sopirnya yang berasal dari negara lain. Ia juga sering menjadi pesuruh yang mengurusi kebun. Padahal, itu bukan bagian dari kontrak kerja sebagai sopir.
Sebagai sopir, Trisno digaji 800 real atau setara dengan Rp 400.000 kala itu. Setelah setahun bekerja di kantor gubernur, lantaran ketidakcocokan dengan majikan, ia diberhentikan dari pekerjaannya dan disuruh pulang ke Indonesia dengan biaya sendiri. Karena tidak punya uang, ia memilih tetap bertahan di Arab.
Beruntung ada seseorang yang menawarinya pekerjaan sebagai pegawai di toko perabot milik orang Sudan. Trisno digaji 1.350 real. Ia suka bekerja di tempat itu karena majikannya sangat baik. Jam kerjanya pasti antara pukul 07.00 hingga lepas maghrib. “Di toko perabot ini saya belajar menghafal dan menata barang, selain pengelolaan toko,” tuturnya.
Selepas maghrib, Trisno bekerja sebagai pemasok produk pangan asal Indonesia untuk toko sembako milik orang Thailand. “Awalnya, saya iseng saja ngobrol dengan orang Thailand soal bisnisnya. Saya pun memberanikan diri menjadi pemasok barang dari Indonesia,” ujarnya. Yang dia pasok berupa cabai, petai, jahe, dan beberapa bumbu lain.
Sejak 1993 hingga 2000, Trisno mengaku sering bolak-balik Indonesia-Saudi. Dia juga mengaku sempat memboyong keluarganya tinggal di Saudi. Pada suatu malam, ketika tertidur di ruko keramik milik majikannya, Trisno bermimpi.
“Saya mimpi menjadi pemilik toko seperti majikan saya,” kenang Trisno.
Ketika terjaga, dia langsung yakin bahwa mimpi tadi adalah ilham yang diberikan Allah. Dia juga yakin bahwa mimpi tadi adalah jalan Allah untuk mengubah nasibnya dari TKI menjadi pemilik toko. Akhirnya, berbekal tabungannya, pada 1998 Trisno membeli sebidang tanah di Kademangan, Blitar, Jawa Timur. Setahun kemudian, di atas sebidang tanah itu Trisno membangun fondasi toko berukuran 8 x 14 meter.

Swayalan berkembang berkat persaingan

Sampai tahun 1999, Trisno masih bekerja dobel. Hasilnya, dia bisa mengantongi tabungan sebesar Rp 20 juta kala itu. “Tahun 1998, kurs dollar sedang tinggi,” ceritanya. Alhasil, tahun 1999, istrinya minta pulang ke Indonesia karena sudah saatnya anak pertamanya sekolah.
Sebagian uang hasil tabungannya dipakai untuk membeli sebidang tanah di kampung halaman, Kademangan, Blitar. “Kebetulan, saya mendapat tempat di dekat pasar. Saya memutuskan membuka toko sembako dengan nama Sari-Sari Swalayan,” katanya.
Kala itu, per hari, gerainya bisa menghasilkan omzet Rp 2 juta. Swalayan Trisno juga menjadi idola di Kademangan.
Trisno semakin mengembangkan bisnisnya lantaran kondisi terdesak. Setelah dua tahun usahanya berjalan, ada jaringan swalayan yang lebih besar dan sudah memiliki banyak cabang berencana membuka cabang baru di Kademangan. “Saya terpacu untuk memperbesar gerai. Untung saja, pemilik rumah yang berimpit dengan swalayan saya menawari untuk membeli rumahnya,” kenangnya.
Alhasil, sebelum swalayan pesaing itu membuka gerai di Kademangan, Sari-Sari Swalayan sudah lebih dulu memperbesar bisnisnya sehingga bisa menyaingi swalayan yang akan buka. Bukan hanya memperluas lokasi, ia juga membuka cabang di tempat lain.
Trisno bersyukur dengan datangnya pesaing di bisnis swalayan. ”Kalau tidak ada pesaing, mungkin saya tidak terpikir membuat cabang,” katanya. Terbukti, saat jaringan minimarket dengan sistem waralaba mulai masuk, bisnisnya ikut terdongkrak.
Trisno punya strategi, harga barang di minimarket waralaba sudah diatur oleh pusat. “Karena saya sudah tahu harga pasokannya dan bisa mengatur harga jual, saya leluasa memainkan harga. Dari situ, konsumen akan memilih yang lebih murah,” katanya.
Awalnya, supermarket ini hanya dikelola seorang diri oleh Trisno, kemudian terus bertambah hingga sekarang yang telah memiliki 7 supermarket yang tersebar di wilayah Blitar dan Tulung Agung, Jawa Tengah. Tenaga kerja yang dipekerjakan pun meningkat. Saat ini sudah mencapai 50 orang dengan upah yang diberikan sesuai UMR yang ada di daerahnya. Untuk tenaga kerja yang sudah lama bekerja dan telah menjadi orang kepercayaanya, Trisno memberi upah antara Rp 2 juta hingga Rp 5 juta.
Trisno bilang, saat ini, dia akan memaksimalkan ketujuh gerainya. Meski begitu, dia juga berencana untuk menjajal bidang usaha yang lain. “Mulai tahun ini, saya ingin berbisnis fesyen,” ujarnya.




9. Kemaludin Penetas Telur dari Tasikmalaya


Kemaludin adalah seorang penetas telur yang sangat terkenal di tasikmalaya. Beliau masih muda, usianya baru 25 tahun dan mampu menjadi bintang di desanya. Kemaludin adalah sosok pemuda yang inspiratif, bermental kaya dan tidak mau kalah dengan nasib. Profesinya sebagai penetas telur membuatnya populer dijuluki “Dokter Endog” dan mengantarkannya meraih penghargaan Pemuda Pelopor Kabupaten Tasikmalaya 2011. Mari kita simak kisah hidup Mas Kemaludin.
kemaludin-dokter-telur

Biografi Kemaludin Dokter Telur dari Tasikmalaya

Usianya baru 25 tahun. Pendidikan terakhirnya pun hanya madrasah aliyah. Namun, panggilan dokter ”endog” alias dokter telur telah melekat kepada Kemaludin, warga Kampung Sukahurip, Desa Sinagar, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasiennya adalah ratusan penetas telur bebek, peternak bebek, dan petugas dinas peternakan di Tasikmalaya.
Sejak tahun 2009, Kemaludin bak pelita bagi siapa pun yang ingin menetaskan telur bebek. Beragam pertanyaan tentang penetasan telur bebek dijawabnya dengan senang hati, tanpa bayaran. Warung makan, pos ronda, rumah warga, dan tempat tinggalnya sendiri kerap menjadi ruang kelas. Biasanya, ia membawa alat pemeriksaan telur yang dibuat sendiri. Alat itu terbuat dari lampu neon 10 watt yang dibalut kertas tebal.
Kemaludin mengatakan, ada beberapa hal penting yang selalu ia tekankan untuk memeriksa telur. Hal itu di antaranya menjaga suhu ideal 36-37 derajat celsius, disiplin waktu pemeriksaan telur, serta cara melatih sensor hidung dan tangan untuk memeriksa apakah ada telur busuk atau tidak.
Pendampingan itu tidak sia-sia. Sendirian menetaskan telur tiga tahun lalu, kini sekitar 200 warga Sukaratu menekuni bidang ini. Ibu rumah tangga, pemuda pengangguran, dan buruh berpenghasilan minim sudah menikmati keuntungan dari usaha penetasan telur.
”Satu orang minimal menetaskan 300 telur per bulan dengan modal sekitar Rp 1,5 juta. Setelah dijual, biasanya penetas telur bisa mendapatkan keuntungan Rp 500.000- Rp 600.000 per bulan,” ujar Kemaludin.

Kemaludin Minim modal

Persinggungan Kemaludin dengan penetasan telur dipengaruhi ketiadaan biaya melanjutkan sekolah. Setelah memutuskan bekerja selama tiga tahun di Samarinda, Depok, dan Jakarta, Kemaludin melihat peternak bebek Sukaratu kerap kesulitan mendapatkan anakan. Peternak harus membeli anak bebek ke kecamatan lain di Kabupaten Tasikmalaya, bahkan hingga ke Kota Tasikmalaya.
”Dari situ saya pikir, peluang itu bisa saya manfaatkan. Modal nekat karena sebenarnya terbentur biaya dan pengetahuan penetasan telur bebek,” katanya.
Akhir tahun 2008, Kemaludin pun mulai mempersiapkan amunisinya. Berbekal uang tabungan Rp 500.000, ia membeli buku mengenai penetasan telur, bertanya kepada peternak bebek setempat, dan survei harga ke pedagang telur dan anakan bebek. Saat itu, kendala terbesarnya adalah kebutuhan akan media penetasan. Bila membeli peralatan penetasan buatan pabrik, dibutuhkan modal Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per unit. Jumlah tersebut tidaklah mungkin ia dapatkan saat itu.
Otaknya dipaksa berpikir. Hingga suatu waktu ia melihat lemari baju pakaian milik saudaranya yang tak terpakai lagi. Dia pun berkreasi dengan alat yang ada. Dengan menambahkan tiga lampu berkekuatan 5 watt dan termometer, Kemaludin mengubah lemari itu menjadi media penetasan darurat dengan kapasitas 300 butir telur.
Awalnya, metode itu tidak berjalan semulus harapan. Setelah 28 hari masa penetasan, hanya 100 telur dari 200 telur yang menetas. Sisanya busuk dan tidak menetas. Penyebabnya, listrik yang sering putus di Sukaratu. Dalam sehari, listrik bisa padam berjam-jam tanpa sebab pasti. Akibatnya, telur tak mendapatkan suhu hangat ideal sehingga memicu kematian janin.
”Telur mati atau busuk harus segera disingkirkan karena berbahaya merusak telur lain. Gas amoniak dari telur busuk bisa menular pada telur lainnya,” katanya.
Untuk mengatasi masalah putus sambung listrik, Kemaludin berinovasi dengan minyak jelantah. Diletakkan di bawah media penetasan, pemanas berbahan bakar minyak jelantah menjadi bahan bakar alternatif penghangat telur. Hasilnya memuaskan. Saat listrik putus, telur mendapat kehangatan dari api berbahan minyak jelantah. ”Tingkat kegagalan penetasan telur bisa ditekan menjadi 2-3 persen,” katanya.

Kemaludin Pemuda pelopor

Perlahan, jumlah telur yang ditetaskan semakin banyak dan memberikan keuntungan ekonomi lebih besar. Keuntungannya, digunakan untuk membuat media penetasan baru. Pengembangan teknis dilakukan untuk memaksimalkan hasil penetasan.
Dia pun kemudian memodifikasi media penetasan ala lemari baju itu. Kemaludin membuat lemari kayu khusus tingkat empat berukuran 124 x 70 x 60 sentimeter. Lemari dengan dimensi seperti itu mampu menampung 500-600 telur. Media penetasan baru itu dilengkapi lima lampu berkekuatan 5 watt, termometer, pemutus arus bila suhu terlalu tinggi, dan higrometer untuk mengukur kelembaban media penetasan.
Telur yang ditetaskan bertambah banyak. Dalam sebulan, ia bisa menetaskan 5.000 telur dengan omzet Rp 15 juta per bulan. Bebek hasil penetasan berusia 2-3 hari dijual Rp 6.500 per ekor untuk betina dan Rp 2.500 per ekor untuk jantan. Nyaris tidak ada yang tersisa karena sebelum menetas, telur sudah dipesan peternak bebek.
”Pernah ada pesanan dari perusahaan katering maskapai penerbangan terbesar di Indonesia. Mereka meminta 1.000 bebek per hari. Terpaksa ditolak karena kami belum mampu menyediakan,” kata Kemaludin.
Keberhasilannya memutar otak dan memberdayakan masyarakat sekitar menimbulkan pengakuan positif. Inovasi pembuatan alat tetas sederhana membawanya merengkuh Pemuda Pelopor Kabupaten Tasikmalaya dan Jawa Barat pada tahun 2011 di bidang teknologi tepat guna. Ia menyisihkan karya pemuda lain bermodal puluhan kali lebih besar.
Akan tetapi, Kemaludin mengatakan tidak mau tinggi hati. Lewat Kelompok Penetasan Unggas Jaya Mekar Sukaratuyang digagas bersama teman-temannya, ia mengajak pemuda desa yang tak bekerja dan berpenghasilan minim untuk usaha menetaskan telur. Satu media penetasan dihibahkan untuk digunakan semua anggota.
”Sekarang baru ada satu media tetas yang diputar bergiliran sebulan sekali kepada 30 anggota. Prioritas diberikan bagi yang belum punya media penetasan. Kalau sudah ada uang, saya ingin buat beberapa lagi,” katanya.
Selain itu, ia juga masih belajar tentang peningkatan nilai ekonomi telur bebek, seperti mengolahnya menjadi makanan olahan dan pembesaran bebek.
”Banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Semoga di tengah keterbatasan modal, kami bisa terus berinovasi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat,” kata Kemaludin.
Subhanallah, semoga kita semua bisa sukses walaupun pendidikan minim, yang penting usaha yang jujur dan tawakal pada Allah. Kemaludin menjadi inspirasi bagi pemuda seperti saya.




10. Sandiaga Uno


Sandiaga Salahudin Uno atau sering dipanggil Sandiaga Uno atau Sandi Uno adalah pengusaha muda dan ternama asal Indonesia. Sering hadir di acara seminar-seminar, Sandi Uno memberikan pembekalan tentang jiwa kewirausahaan (entrepreneurship), utamanya pada pemuda. Sandi lahir di Rumbai, Pekanbaru, 28 Juni 1969.
sandiaga-uno

Biografi Sandiaga Uno dari Biografi Web

Sandi Uno memulai usahanya setelah sempat menjadi seorang pengangguran ketika perusahaan yang mempekerjakannya bangkrut. Bersama rekannya, Sandi Uno mendirikan sebuah perusahaan di bidang keuangan, PT Saratoga Advisor. Usaha tersebut terbukti sukses dan telah mengambil alih beberapa perusahaan lain. Pada tahun 2009, Sandi Uno tercatat sebagai orang terkaya urutan ke-29 di Indonesia menurut majalah Forbes.
Di Indonesia, relatif amat susah mencari orang sukses dalam usia yang relatif muda, setidaknya dalam usia di bawah 40 tahun. Namun demikian, diantara susahnya menemukan orang sukses tersebut, muncul milyarder muda, Sandiaga Salahuddin Uno.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) pasti kenal dengan sosok Sandiaga S. Uno. Dia telah lengser dari jabatan ketua umum pusat organisasi yang beranggota lebih dari 30 ribu pengusaha itu.
Sandi -demikian penyandang gelar MBA dari The George Washington University itu biasa disapa- tercatat sebagai orang terkaya ke-63 di Indonesia versi Globe Asia. Kekayaannya USD 245 juta.
Sandi menyatakan tak disiapkan untuk menjadi pebisnis oleh orang tuanya. ”Orang tua lebih suka saya bekerja di perusahaan, tidak terjun langsung menjadi wirausaha,” ujar pria penggemar basket itu.
”Menjadi pengusaha itu pilihan terakhir,” akunya. Karena itulah, dia tak berpikir menjadi pengusaha seperti yang telah dilakoni selama satu dekade ini. ”Saya ini pengusaha kecelakaan,” katanya, lantas tertawa.
Kiprah bisnis Sandi kini dibentangkan lewat Grup Saratoga dan Recapital. Bisnisnya menggurita, mulai pertambangan, infrastruktur, perkebunan, hingga asuransi. Namun, dia masih punya cita-cita soal pengembangan bisnisnya. “Saya ingin masuk ke sektor consumer goods. Dalam 5-10 tahun mendatang, bisnis di sektor tersebut sangat prospektif,” katanya, optimistis.
Seorang pebisnis, kata dia, memang harus selalu berpikir jangka panjang. Bahkan, berpikir di luar koridor, berpikir apa yang tidak pernah terlintas di benak orang. “Mikir-nya memang harus jangka panjang.”
Dia mencontohkan, dirinya masuk ke sektor pertambangan awal 2000. Saat itu, sektor tersebut belum se-booming sekarang. ”Jadi, ketika sektor itu sekarang naik, kami sudah punya duluan,” ujarnya.
Sandi semula adalah pekerja kantoran. Pascalulus kuliah di The Wichita State University, Kansas, Amerika Serikat, pada 1990, Sandi mendapat kepercayaan dari perintis Grup Astra William Soeryadjaja untuk bergabung ke Bank Summa. Itulah awal Sandi terus bekerja sama dengan keluarga taipan tersebut. ”Guru saya adalah Om William (William Soeryadjaja, Red),” tutur pria kelahiran 28 Juni 1969 itu.
Bapak dua anak itu kemudian sedikit terdiam. Pandangannya dilayangkan ke luar ruang, memandangi gedung-gedung menjulang di kawasan Mega Kuningan. ”Saya masih ingat, sering didudukkan sama beliau (William Soeryadjaja, Red). Kami berdiskusi lama, bisa berjam-jam. Jiwa wirausahanya sangat tangguh,” kenangnya. William tanpa pelit membagikan ilmu bisnisnya kepada Sandi. Dia benar-benar mengingatnya karena itulah titik awal dia mengetahui kerasnya dunia bisnis.
Di tanah air, Sandi hanya bertahan satu setengah warsa. Dia harus kembali ke AS karena mendapat beasiswa dari bank tempatnya bekerja. Dia pun kembali duduk di bangku kuliah The George Washington University, Washington. Saat itulah, fase-fase sulit harus dia hadapi. Bank Summa ditutup. Sandi yang merasa berutang budi ikut membantu penyelesaian masalah di Bank Summa.
Sandi kemudian sempat bekerja di sebuah perusahaan migas di Kanada. Dia juga bekerja di perusahaan investasi di Singapura. ”Saya memang ingin fokus di bidang yang saya tekuni semasa kuliah, yaitu pengelolaan investasi,” tutur ayah dari Anneesha Atheera dan Amyra Atheefa itu.
Mapan sejenak, Sandi kembali terempas. Perusahaan tempat dia bekerja tutup. Mau tidak mau, dia kembali ke tanah air. ”Saya berangkat dari nol. Bahkan, kembali dari luar negeri, saya masih numpang orang tua,” katanya.
Sandi mengakui, dirinya semula kaget dengan perubahan kehidupannya. ”Biasanya saya dapat gaji setiap bulan, tapi sekarang berpikir bagaimana bisa survive,” tutur pria kelahiran Rumbai itu. Apalagi, ketika itu krisis.
Dia kemudian menggandeng rekan sekolah semasa SMA, Rosan Roeslani, mendirikan PT Recapital Advisors. Pertautan akrabnya dengan keluarga Soeryadjaja membawa Sandi mendirikan perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya bersama anak William, Edwin Soeryadjaja. Saratoga punya saham besar di PT Adaro Energy Tbk, perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia yang punya cadangan 928 juta ton batu bara.
Bisa dibilang, krisis membawa berkah bagi Sandi. ”Saya selalu yakin, setiap masalah pasti ada solusinya,” katanya. Sandi mampu ”memanfaatkan” momentum krisis untuk mengepakkan sayap bisnis. Saat itu banyak perusahaan papan atas yang tersuruk tak berdaya. Nilai aset-aset mereka pun runtuh. Perusahaan investasi yang didirikan Sandi dan kolega-koleganya segera menyusun rencana. Mereka meyakinkan investor-investor mancanegara agar mau menyuntikkan dana ke tanah air. ”Itu yang paling sulit, bagaimana meyakinkan bahwa Indonesia masih punya prospek.”
Mereka membeli perusahaan-perusahaan yang sudah di ujung tanduk itu dan berada dalam perawatan BPPN -lantas berganti PPA-. Kemudian, mereka menjual perusahaan itu kembali ketika sudah stabil dan menghasilkan keuntungan. Dari bisnis itulah, nama Sandi mencuat dan pundi-pundi rupiah dikantonginya.
Sandi terlibat dalam banyak pembelian maupun refinancing perusahaan-perusahaan. Misalnya, mengakuisisi Adaro, BTPN, hingga Hotel Grand Kemang. Dari situlah, kepakan sayap bisnis Sandi melebar hingga kini.

Terpaksa ke Mal demi Anak

Sandiaga S. Uno adalah citra kesuksesan. Semua orang tahu hal itu. Namun, di balik aktivitasnya yang padat, dia merasa berdosa kepada keluarga. Sebab, waktunya hampir habis tersita untuk aktivitas bisnis dan organisasi. “Saya merasa nggak adil sama keluarga. Saya kerja begini untuk siapa? Rasanya ada yang hilang,” tutur Sandi.
Sandi mengaku, biasanya menjadikan Sabtu-Minggu sebagai hari untuk keluarga. Itu pun sangat terbatas. “Saya paling suka ke Senayan. Pasti Sabtu olahraga bareng keluarga di sana. Pagi lari, agak siang sedikit pukul-pukul bola, golf,” ceritanya.
Kemudian, biasanya mereka sekeluarga jalan-jalan ke mal. “Sebenarnya, saya paling nggak suka ke mal. Tapi, ya sedikit menyenangkan anaklah,” kata Sandi yang mengaku tak tertarik terjun ke dunia politik.
Sandi lantas tertawa mengingat polah lucu sang anak itu. “Jujur, saya selalu ingin ada di samping mereka. Saya ingin memberikan yang terbaik,” tambahnya dengan mimik serius.
Karena itu, Sandi kerap berangan-angan bahwa sehari itu bukan 24 jam. “Seandainya sehari itu ditambah empat jam saja, tambahan empat jam tersebut akan saya habiskan bersama keluarga,” tegasnya.

Biodata Sang Miliarder

Nama Lengkap : Sandiaga Salahuddin Uno
Tempat/tanggal lahir : Rumbai, 28 Juni 1969
Pendidikan Formal :
  • Bachelor of Business Administration, The Wichita State University, Kansas, AS, lulus 1990
  • Master of Business Administration, The George Washington Univ., Washington, AS, lulus 92
Pengalaman Kerja
  • Summa Group, Jakarta (Mei 1990-Juni 1993)
  • Seapower Asia Investment Limited, Singapura (Juli 1993-April 1994)
  • MP Holding Limited Group, Singapura (Mei 1994-Agustus 1995)
  • NTI Resources Limited, Calgary, Canada (September 1995-April 1998)
  • PT Saratoga Investama Sedaya (April 1998- sekarang)
Sumber;
Next Post Previous Post