Sungguh Paradoksnya PNS
Oleh: Alimuddin Baharuddin (Kompasianer)
Sejak penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung baik gubernur dan bupati/ walikota yang dipilih langsung oleh rakyat, selalu menjadi ajang pertarungan oleh para calon pasangan beserta tim pemenangannya untuk meraup suara sebesar besarnya. Selain partai politik dan tim pemenangannya sebagai mesin pengumpul suara, maka berbagai simpul-simpul pun digerakkan demi meraih suara. Komunitas, kelompok bahkan organisasi massa dan keagamaan lainnya pun tidak segan-segan memberikan dukungan untuk calon pasangan tertentu. Bahkan PNS dijadikan sebagai lumbung suara yang rill pada setiap perhelatan pemilukada. Sementara PNS sebagai aparatur negara yang idealnya tidak terlibat dukung mendukung pun harus terjebak oleh arus politik praktis demi suatu jabatan atau takut untuk ditempatkan pada posisi tanpa jabatan (non job), karena kelak sang kepala daerah-lah yang menentukan jabatan-jabatan strategis pemerintahan daerah.
Merujuk aturan tehnis pada PP 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS pada pasal larangan salah satunya menyebutkan jika setiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala daerah/Wakil kepala daerah dengan cara terlibat kampanye, menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan satu pasangan calon selama kampanye dan mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap pasangan calon. Tapi coba kita amati, setiap ada momentum pemilihan kepala daerah, selalu PNS-lah yang tampil sebagai salah satu mesin penggerak massa untuk memberikan dukungan kepada calon pasangan tertentu, belum lagi jika calon tersebut masih pada posisi incumbent maka dengan leluasa seorang kepala daerah menggerakkan PNS atas nama tugas kedinasan oleh atasan. Bahkan lebih menariknya jika mendekati tahun pemilihan kepala daerah tersebut, tak ayal lagi secara serta merta hembusan gerbong mutasi kepada para pejabat yang nota bene sebagai PNS yang tidak loyal dan tidak siap mendukung kepala daerah incumbent akan dicopot atau bahkan dilepas jabatannya (non job) untuk menghilangkan pengaruhnya.
Aparatur Negara
Sebagai aparatur negara maka ada beberapa kewajiban PNS yang harus melekat pada dirinya, salah satunya sebagai aparatur yaitu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Memberikan pelayanan inilah yang harus menjadi concern seorang PNS sesuai unit kerjanya masing-masing. Bukan mengurusi hal-hal yang bukan domainnya, salah satunya keterlibatan pada politik praktis.
Belum lagi salah satu penafsiran tentang salah satu kewajiban PNS yaitu melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya. Tugas ini juga yang terkadang salah ditafsirkan oleh PNS dan dimanfaatkan oleh para kepala daerah. Atas nama tugas kedinasan tapi melakukan kerja-kerja yang sifatnya menjadi hal yang dilarang oleh aturan. Contohnya atas nama tugas kedinasan melakukan kegiatan yang sengaja di-design secara sistematis dengan kegiatan yang menguntungkan salah satu calon pasangan pada pemilukada. Bahkan secara terang-terangan meminta kepada masyarakat untuk mendukung calon tertentu.
Politik Praktis
Sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih, tidak serta merta dibolehkan untuk memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu pada pemilukada. Inilah kenyataan yang terjadi sekarang, suatu kondisi yang tidak jauh beda pada jaman orde baru. Jika pada orde baru PNS bahkan diwajibkan untuk memilih dan memenangkan partai tertentu pada pemilu, sekarangpun sudah hampir mirip dengan jaman tersebut, bedanya hanya pada persolan dukungan. PNS bukan lagi diwajibkan kepada partai tertentu tetapi dukungan tersebut diwajibkan kepada calon pasangan tertentu pada hajatan pemilukada.
Inilah paradoksnya, bagai 2 sisi mata uang yang sangat sulit dipisahkan. Pertama harus menjalankan tugas kedinasan dan setia kepada atasan tetapi satu sisi harus menghindari kegiatan yang memberi dukungan atau terlibat pada kegiatan kampanye. Idealnya seorang PNS harus menempatkan dirinya sebagai seorang aparatur negara dan pelayan masyarakat/public. Tidak usah melakoni peran-peran partai politik dan para politisi untuk tejerumus pada kegiatan politik praktis seperti dukung-mendukung calon pasangan tertentu pada setiap momentum pemilukada. Pertanyaaan yang muncul kembali, apakah mampu seorang PNS murni hanya menjalankan fungsi-fungsi pelayannya, jikalau tidak terlibat politik praktis maka ketakutan untuk menduduki jabatan strategis pemerintahan sangat kecil peluangnya. Walaupun idealnya ada analisa ataupun pertimbangan yang dilakukan untuk mendudukkan seorang PNS pada jabatan pemerintahan tertentu.
Sahkan RUU ASN
Maraknya dukung-mendukung oleh para PNS di seluruh Indonesia pada setiap momentum pemilukada, membuat Pemerintah dan DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). Menariknya, RUU ASN ini dalam masa uji publik muncul berbagai tanggapan, terutama oleh kalangan pemerintah daerah. Point-point penting yang menjadi perdebatan adalah aturan masa pensiun. Aturan yang berlaku saat ini adalah usia pensiun PNS yang duduk di jabatan eselon I & II adalah 56 tahun lalu dapat diperpanjang lagi hingga 58 dan 60 tahun. Inilah juga yang menjadi kenyataan di daerah, banyak pejabat yang di perpanjang usia pensiunnya karena mereka sebelumnya memberikan dukungan politik pada saat pemilukada, tapi bagi PNS yang walaupun memiliki kompetensi tapi bukan bagian pendukung pasangan calon pada saat pilkada dan atau dianggap musuh, maka kesempatan untuk pengajuan perpanjangan akan pasti akan ditolak.
Point inilah juga yang menjadi salah satu usulan dalam RUU ASN tersebut, seorang pejabat eselon I & II sudah langsung diperpanjang usia pensiunnya tanpa pengajuan ke atasannya, karena RUU ini sudah mangatur usia pensiun pejabat eselon I & II adalah 60 tahun. Butir lain juga yang diatur dalam RUU ASN ini aturan promosi jabatan. Jika yang terjadi selama ini adalah kecenderungan para kepala daerah melakukan promosi jabatan berdasarkan like or dislike, atau berdasarkan keterlibatan seorang PNS pada pemilukada menjadi tim sukses. Yang juga semakin berkembang adalah model KKN gaya baru, seorang PNS dipromosikan jabatan jika punya hubungan keluarga dengan kepala daerah. Belum lagi isyu-isyu yang banyak beredar tentang transaksi jual beli jabatan yang dilakukan oleh oknum tertentu demi menduduki jabatan yang sifatnya basah (banyak anggarannya).
Harapan kami selaku seorang PNS adalah jika kelak RUU ini mampu disahkan menjadi UU maka upaya pendayagunaan aparatur Negara dan reformasi birokrasi mampu dilaksanakan sedikit demi sedikit. Utamanya upaya meminimalisir praktik-praktik yang sifatnya politik praktis dilakukan oleh para PNS pada setiap pemilukada. Dalam RUU ASN ini juga menyebutkan jika ke depan dalam hal promosi jabatan akan dilakukan oleh sebuah lembaga khusus yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). KASN ini juga yang nantinya bertujuan untuk menjamin agar PNS bebas dari campur tangan politik dan melakukan pembinaan pada jabatan-jabatan yang selama ini menjadi wewenang para kepala daerah. Kita hanya menunggu, semoga RUU ini secepatnya mampu disahkan menjadi UU.
*http://birokrasi.kompasiana.com/2013/07/02/paradoksnya-pns-573507.html