Perjanjian Pinjam Pakai (Bruikleen), Ketentuan Umum Dan Syarat Perjanjian Pinjam Pakai (Bruikleen)

Apa yang dimaksud dengan pinjam pakai ? Secara umum, pinjam pakai dapat diartikan sebagai suatu bentuk perjanjian di mana satu pihak menyerahkan suatu barang kepada pihak lain (peminjam) secara cuma-cuma, dengan ketentuan bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut setelah dipakai atau telah lewat waktu yang ditentukan.

Pengertian tentang perjanjian pinjam pakai diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), berbunyi :
  • Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa yang menerima barang itu, setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.

Baca juga : Perjanjian Pinjam Pakai (Bruikleen)

Ketentuan Umum Dalam Perjanjian Pinjam Pakai (Bruikleen). Terdapat beberapa hal penting yang merupakan ketentuan umum, yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1740 KUH Perdata tersebut di atas, yaitu bahwa dalam pinjam pakai :

1. Peminjaman atas barang tersebut dilakukan dengan cuma-cuma, maksudnya adalah tanpa adanya kontraprestasi (baik berupa uang atau yang lainnya) dari pihak peminjam kepada pihak yang meminjamkan.

2. Hak atas kepemilikan barang tetap berada pada pada pihak yang meminjamkan, sedangkan pihak peminjam barang hanya mempunyai hak untuk memakainya saja.
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1741 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
  • Orang yang meminjamkan itu tetap menjadi pemilik mutlak barang yang dipinjamkan.

3. Barang yang dapat dipinjam-pakaikan dalam perjanjian adalah segala macam barang yang dapat dipakai dan tidak musnah atau tidak habis karena pemakaiannya
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1742 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
  • Segala sesuatu yang dipergunakan orang dan tidak dapat musnah karena pemakaiannya, dapat menjadi pokok perjanjian ini.

Baca juga : Akibat Suatu Perjanjian

4. Segala hak dan kewajiban yang muncul dapat beralih kepada ahli warisnya jika salah pihak atau keduanya meninggal dunia. Kecuali apabila perjanjian pinjam pakai tersebut menyangkut suatu barang yang dipinjamkan secara pribadi dan melekat hanya pada pihak peminjam, maka ahli waris dari pihak peminjam tidak berhak atas barang yang dipakai sebagai obyek perjanjian pinjam pakai tersebut.

Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1743 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
  • (1) Semua perjanjian yang lahir dari perjanjian pinjam pakai, beralih kepada ahli waris orang yang meminjamkan dan ahli waris peminjam.
  • (2) Akan tetapi jika pemberian pinjaman dilakukan hanya kepada orang yang menerimanya dan khusus kepada orang itu sendiri, maka semua ahli waris peminjam tidak dapat tetap menikmati barang pinjaman itu.

5. Pihak yang meminjamkan barang tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamkan tersebut selain setelah lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Apabila dalam perjanjian pinjam pakai tidak ditentukan jangka waktu pinjam pakai, maka permintaan pengembalian barang hanya dapat dilakukan setelah barang tersebut dipakai.
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1750 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
  • Pemberi pinjaman tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamkannya kecuali bila sudah lewat waktu yang ditentukan, atau dalam hal tidak ada ketentuan tentang waktu peminjaman itu, bila barang yang dipinjamkan itu telah atau dianggap telah selesai digunakan untuk tujuan yang dimaksudkan.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1751 KUH Perdata disebutkan bahwa :
  • Akan tetapi bila dalam jangka waktu itu atau sebelum berakhirnya keperluan untuk memakai barang itu, pemberi pinjaman sangat membutuhkan barangnya dengan alasan yang mendesak dan tidak terduga, maka dengan memperhatikan keadaan, Pengadilan dapat memaksa pisak peminjam untuk mengembalikan barang pinjaman itu kapada pemberi pinjaman. 

Baca juga : Perjanjian Pinjam Pengganti (Verbruiklening)

6. Perjanjian pinjam pakai merupakan perjanjian sepihak, maksudnya adalah bahwa pihak yang meminjamkan berkewajiban memberikan prestasi kepada peminjam yaitu berupa hak pinjam pakai, sedangkan pihak peminjam tidak berkewajiban memberikan kontraprestasi apapun kepada pihak yang meminjamkan.

Syarat Perjanjian Pinjam Pakai (Bruikleen). Pada dasarnya pinjam pakai adalah sebuah perjanjian. Oleh karenanya syarat sahnya suatu perjanjian juga berlaku dalam pinjam pakai. Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa "Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. suatu hal tertentu.
  4. suatu sebab yang halal."

Berdasarkan syarat sahnya suatu perjanjian tersebut, dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis. Perjanjian yang dibuat dengan tidak tertulis atau lisan juga mengikat para pihak pembuatnya, kecuali apabila oleh peraturan perundang-undangan disebutkan secara tegas bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis, sebagai contoh adalah perjanjian kerja dalam waktu tertentu. Perjanjian pinjam pakai tidak harus dibuat secara tertulis, hanya saja untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian, sebaiknya perjanjian pinjam pakai dibuat secara tertulis.   

Baca juga : Pengertian Resiko Dalam Hukum Perjanjian

Resiko Dalam Perjanjian Pinjam Pakai. Mengenai resiko dalam perjanjian pinjam pakai, diatur dalam pasal 1744  dan pasal 1745 KUH Perdata, yang pada garis besarnya adalah :
  • Resiko dalam perjanjian pinjam pakai berada di tangan si pemakai. 
  • Apabila barang yang dipinjam musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka peminjam bertanggung jawab atas kemusnahan barang tersebut dan juga bertanggung jawab atas barang-barang yang diakibatkan oleh barang tersebut.

Apabila terjadi wanprestasi, misalkan pihak peminjam tidak mengembalikan barang yang dipinjamnya setelah selesai pemakaian atau setelah jangka waktu berakhir, apakah dapat dilakukan penuntutan secara pidana ? Pada prinsipnya penuntutan secara pidana atas dasar penggelapan dapat dilakukan. Namun sebaiknya hal tersebut merupakan pilihan terakhir. Jika dapat diselesaikan secara musyawarah maupun secara perdata, maka lebih baik penyelesaian secara hukum  pidana tidak digunakan.

Apabila pada akhirnya harus diselesaikan secara pidana yaitu atas dasar penggelapan, maka harus ada dugaan yang kuat bahwa pihak peminjam dengan sengaja dan melawan hukum berniat memiliki barang yang digunakan sebagai obyek perjanjian pinjam pakai tersebut, yang berada dalam kekuasaan pihak peminjam.

Perbuatan penggelapan harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana penggelapan sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hüküm Pidana (KUH Pidana) yang berbunyi :
  • Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau  sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Baca juga : Klausula Exonoratie Dan Penyalahgunaan Keadaan

Menurut R. Soesilo, penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian (Pasal 362 KUH Pidana), bedanya adalah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki tersebut masih belum  berada di tangan pencuri dan masih harus diambilnya (dalam arti tindak kejahatan), sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang tersebut sudah berada di tangan pelaku dan tidak dengan kejahatan.

Semoga bermanfaat.
    Next Post Previous Post