Meneladani Keluarga Nabi Ibrahim



Tak terasa beberapa hari lagi kita umat Muslim akan merayakan hari raya Idul Adha dimana jatuh pada tanggal 31 Juli 2020. Siapa yang akan menyangka Idul Adha tahun ini bertepatan dengan wabah COVID-19 yang masih menghantui di sekeliling kita. Rasa was-was akan tertular virus tersebut mungkin bisa jadi menjadikan lebaran haji tahun ini penuh dengan kekhawatiran. 

Sebenarnya tema menulis di ODOP Blogger Squad kali ini menurutku agak lumayan sulit nih, apalagi untuk diriku yang terbilang minim pengetahuan agamanya. Baiklah, aku akan membahasnya berdasarkan sepengetahuanku yang diambil dari beberapa referensi bacaan.

Idul Adha memiliki makna "sacrifice" atau dalam bahasa Indonesia berarti pengorbanan. Pengorbanan dari siapa untuk siapa? Atau pengorbanan kepada siapa?

Tentu saja pengorbanan kepada Allah SWT, Pemilik bumi dan seisinya. Adanya wahyu dari Allah berupa perintah agar Nabi Ibrahim menyembelih anaknya yang bernama Ismail tentu merupakan sesuatu hal yang memukul batinnya sebagai seorang ayah. Bayangkan, puluhan tahun Nabi Ibrahim menantikan kehadiran buah hati namun tak lama berselang tiba-tiba Penciptanya mengharuskan beliau menyembelih putra tercinta.

Nilai Spiritual Yang Bisa Kita Petik




Jika aku adalah Ismail mungkin diri ini tak bisa sesabar beliau. Nabi Ismail karena kepatuhan kepada Tuhannya rela dan ikhlas untuk disembelih sebagai bentuk ketaqwaan beliau dan Ayahnya. Apakah kita sudah sesiap beliau ? Aku rasa jawabannya bukan hanya belum, namun bisa jadi tidak sama sekali. Apalagi kehadiran Ismail sudah sangat dinantikan oleh Ayahanda Ibrahim dimana berpuluh tahun lamanya Nabi Ibrahim mendambakan akan datangnya buah hati. Bayangkan, seorang anak yang sudah sangat didambakan kehadirannya namun tiba-tiba Allah SWT berkehendak mengambilnya kembali.

Al Qur'an Surat As Saffat Ayat 102

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termask orang-orang yang sabar"   


Lalu pernahkan kau membayangkan andai kau seorang Hajar apakah akan sanggup mengasuh seorang bayi yang baru lahir seorang diri tanpa kehadiran suami dan jauh dari siapapun. Jangankan di zaman yang masih serba jauh dari teknologi, di era digital sekarang pun bisa jadi engkau para wanita yang telah bersuami enggan menjalani LDM atau Long Distance Marriage dengan pasangannya.

Jadikan spirit Idul Adha setiap tahun yang kita rayakan sebagai pelecut semangat dalam hidup ini agar semakin baik ke depannya. Mungkin bagiku, kesabaran Sarah istri pertama Nabi Ibrahim dalam menanti buah hati puluhan tahun lamanya dapat menjadi cerminan agar diri ini mampu untuk bersabar menghadapi ujian berupa ketiadaan anak dalam rumah tangga. Bukan tak percaya akan takdir Allah SWT, namun diri ini hanya berusaha menjadi realistis saja dalam menjalani hidup sembari memasrahkan segala sesuatu kehadirat Allah SWT.

Selain motivasi untuk tidak pernah menyerah dalam hidup, spirit Idul Adha mengajarkan kepada kita bahwa harta yang kita miliki hanyalah titipan sementara di dunia. Harta dilambangkan dengan anak di masa Nabi Ibrahim mendapat wahyu untuk menyembelih Ismail. Siapa sih yang ingin hartanya dirampas seketika terlebih lagi dikumpulkan bersusah payah selama bertahun-tahun lamanya. Namun jika Allah berkehendak "Kun" maka tidak ada yang dapat mengalahkan kehendak Allah SWT.

Untuk kalian sendiri, apa sih makna Idul Adha? Yuk, tulis di kolom komentar ya.



Next Post Previous Post